Semua karyawan sebuah toko di Jalan Mayjen Sungkono Surabaya dikumpulkan untuk menerima pesangon. Toko yang telah berdiri puluhan tahun itu memutuskan tutup karena tidak mampu bersaing dengan toko-toko daring yang menawarkan harga lebih murah. Di tengah-tengah antrean, Erna melemparkan pertanyaan kepada Yono, suaminya.
“Bagaimana nasib kita, Pa?”
“Kita hanya bawahan, bisanya hanya menurut sama bos.”
“Aku paham, masa kita setelah ini nganngur di rumah. Lama-lama pesangon kita bisa habis.”
“Coba kamu jualan online kaya Bu Yeti, siapa tahu bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sementara untuk menunggu panggilan kerja, aku akan menjadi ojol.”
Usai menerima pesangon, mereka mengeksekusi rencana. Tapi apa daya, rencana mereka tidak sesuai harapannya. Pesanan ojek daring Yono sepi karena masa pandemi. Toko daring Erna kalah bersaing dengan distributor besar. Akibatnya pesangon mereka semakin menipis.
“Sepertinya Mama harus menitipkan Tofa di kampung agar kita bisa bertahan hidup.” Saran Yono kepada Erna.
“Apa tidak ada jalan lain, Pa?”
“Aku rasa semua jalan sudah aku jalani. Aku sudah bekerja di bengkel Pak To, malamnya jadi ojol. Mama juga bekerja sambilan sebagai ART. Tetapi setelah kuhitung-hitung masih besar pasak daripada tiang. Coba titipkan Tofa di rumah ibu Mama di kampung. Dengan begitu, kita bisa leluasa bekerja lembur atau serabutan tanpa kepikiran kondisi Tofa di rumah.”
“Tapi, Pa…”
“Mama harus melakukan sekarang, nanti jika mendekati lebaran dilarang pulang kampung. Uang kita sudah tidak cukup untuk memenuhi bulan ini jika kita masih seperti ini.”
Dengan perasaan terpaksa, Erna menuruti saran suaminya. Ia menyadari, menitipkan Tofa yang berusia sepuluh tahun kepada ibunya adalah pilihan terbaik kali ini.
Sebelum azan subuh, Erna dan Tofa berangkat ke Terminal Bungurasih. Erna berniat menitipkan Tofa kepada Solik, neneknya, yang berada di Sumbermiri, Lengkong.