Ada Apa dengan NU

Seperti bisul, masalah-masalah yang tersembunyi di tubuh kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya pecah juga. Ledakan itu dipicu oleh konflik dua kubu di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), antara kubu Rais Aam Dewan Syuriyah KH Miftachul Akhyar dan kubu Ketua Umum Dewan Tanfidziyah KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Konflik dua kubu itu kian memanas hingga di pengujung tahun 2025 ini. Kedua kubu saling menafikan keabsahan masing-masing, saling memecat, dan saling serang secara terbuka di ruang publik. Marwah dan nasib organisasi massa berbasis keagamaan terbesar di dunia ini sedang dipertaruhkan.

Tapi tulisan ini tak hendak memasuki wilayah konflik dua kubu tersebut. Sebab, konflik di antara mereka hanyalah akibat, bukan sebab. Apalagi sebab utama. Ibaratnya, konflik di antara mereka hanyalah asap dari bara api yang tungkunya tersembunyi. Temukan dan matikan sumber apinya, maka mereka tak akan lagi punya alasan dan dorongan untuk berkonflik. Tulisan ini justru menelusuri sumber-sumber masalahnya, yang berujung pada satu simpulan: sebagai sebuah entitas civil society, eksistensi NU sebagai jam’iyah memang sedang goyah.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Kalau kita jeli, tanda-tandanya sebenarnya sudah terbaca sejak Muktamar ke-34 di Lampung, Desember 2021. Situasi Muktamar ini seperti menjadi antitesis dari Muktamar ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya, Desember 1994. Jika Muktamar Cipasung menjadi benteng pertahanan dan perlawanan terhadap campur tangan kekuasaan yang otoriter, Muktamar Lampung sebaliknya. Ia justru menjadi pasar terbuka bagi kekuasaan yang transaksional, tempat orang bebas melakukan jual beli kursi, ambisi, dan harga diri. Puncaknya, dalam pidato pembukaan Muktamar, Presiden Joko Widodo mengungkap akan memberikan konsesi tambang kepada NU. Segala konsesi, apalagi tambang, tak pernah berdiri sendiri– kelak kita akan tahu, NU harus “membayar” konsesi itu. Mungkin dengan jati dirinya. Mungkin dengan kemandiriannya. Mungkin keduanya.

Menyandingkan Muktamar Cipasung dan Muktamar Lampung bisa memunculkan tesis baru: menghadapi kekuasaan yang otoriter, NU telah teruji mampu bertahan dan memberikan perlawanan untuk menjaga jati diri dan kemandiriannya. Sejarah mencatat, Muktamar Cipasung telah membuktikannya. Namun, menghadapi kekuasaan yang transaksional, kemampuan dan kekuatan NU masih harus diuji oleh waktu. Hal itu terlihat dari bagaimana Muktamar Lampung berlangsung dan apa yang kemudian terjadi setelahnya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan