AI sebagai Mufti Baru dan Taqlid Digital

Gelombang digitalisasi kini merambah ranah yang sebelumnya dianggap eksklusif: penetapan fatwa. Kecerdasan buatan (AI) mulai digunakan untuk menjawab pertanyaan fikih, memberikan rekomendasi hukum, bahkan mengalkulasi pendapat mayoritas dalam literatur klasik.

Muncul pertanyaan besar: apakah AI sedang menjadi “mufti baru” bagi masyarakat yang serbacepat? Pertanyaan ini bukan sekadar wacana teknologi, tetapi menyentuh jantung epistemologi Islam dan etika publik.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Fenomena ini semakin relevan ketika pada 2024–2025 sejumlah lembaga keagamaan di Timur Tengah merilis prototipe AI Fatwa Assistant. Masyarakat bisa menanyakan hukum apa saja, dan sistem akan menyajikan jawaban berdasarkan ribuan kitab turats yang diolah dengan machine learning.

Di Indonesia, percakapan soal “fatwa berbasis AI” mulai muncul setelah beberapa platform dakwah digital menggunakan AI chatbot untuk menjawab pertanyaan hukum keluarga dan ibadah. Banyak pengguna lebih percaya jawaban instan itu daripada menunggu respons ustaz atau lembaga resmi.

Secara epistemologis, situasi ini menimbulkan persoalan besar. Fatwa, dalam tradisi Islam, bukan hanya hasil pencocokan data teks, tetapi proses ijtihad: kegiatan akliah, konteks sosial, intuisi moral, dan tanggung jawab etis. AI, betapapun canggihnya, bekerja melalui pola dan probabilitas—bukan kesadaran moral.

Dalam perspektif pemikir Islam kontemporer, problem AI sebagai “mufti” menjadi semakin jelas. Fazlur Rahman, dalam Islam and Modernity (1982), menekankan bahwa hukum Islam harus dipahami melalui double movement: kembali ke konteks pewahyuan lalu membaca ulang spirit moralnya untuk menjawab masalah modern. AI tidak mungkin melakukan gerak hermeneutis ini, karena ia tidak memahami konteks moral, melainkan hanya mengenali pola teks. Jika Rahman masih hidup hari ini, ia akan melihat AI fatwa sebagai bentuk “taqlid digital”—yang bukan hanya meniru teks, tetapi meniru secara mekanis tanpa pemahaman.

Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Naqd al-Khitab al-Dini (1990), menegaskan bahwa teks keagamaan harus dipahami sebagai wacana manusia yang hidup dalam konteks budaya. Baginya, makna tidak melekat secara statis pada teks, tetapi lahir dari interaksi manusia dengan realitas. AI tidak hidup dalam budaya; ia tidak mengenali kelas sosial, trauma psikologis, atau dinamika kekuasaan. Karena itu, rekomendasi AI, betapapun terlihat “religius,” akan selalu kehilangan aspek kemanusiaan yang menjadi inti hermeneutika Abu Zayd.

Sementara Mohammed Arkoun dalam Rethinking Islam (1994) menekankan perlunya “kritik nalar Islam”—yakni membuka area pemikiran yang selama ini dikunci oleh dogma. Yang menarik, AI justru bisa memperkuat dogma tersebut. AI dilatih dari korpus teks yang sudah mapan; ia tidak mempertanyakan, tidak mendekonstruksi, tidak menantang struktur pengetahuan. Arkoun akan melihat AI fatwa sebagai penguatan konservatisme epistemik, bukan pembaruan.

Di sisi lain, Abdullahi Ahmed An-Na’im, dalam Islam and the Secular State (2008), menekankan pentingnya dialog publik dalam menghasilkan otoritas keagamaan yang legitimated. AI, sebaliknya, menghilangkan ruang dialog itu. Ia memberikan jawaban, bukan percakapan; keputusan, bukan proses deliberatif. Otoritas agama menjadi algoritmik, bukan sosial.

Dari kacamata filsafat kontemporer, persoalan ini semakin menggelinding menjadi kritik etika dan epistemologi. Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology (1954) mengingatkan bahwa teknologi cenderung “mengendalikan” cara kita melihat dunia. Ketika fatwa dikelola oleh AI, maka masalah agama direduksi menjadi data yang harus diproses; manusia menjadi objek kalkulasi. Heidegger menyebut ini sebagai “bahaya terbesar”: manusia berhenti memaknai, dan hanya menerima keluaran sistem.

Michel Foucault melalui gagasan power/knowledge menunjukkan bahwa siapa yang mengontrol produksi pengetahuan, mengontrol kekuasaan. Bila AI menjadi mufti, maka kekuasaan tafsir bergeser dari ulama, masyarakat, dan institusi, menuju korporasi teknologi dan pengembang algoritma. Fatwa tak lagi sepenuhnya milik umat.

Sementara Bernard Stiegler, dalam Technics and Time (1994), menekankan bahwa teknologi tanpa etika akan merusak struktur pengetahuan masyarakat. AI bisa mempercepat diseminasi informasi agama, tetapi juga menghilangkan proses belajar, pergulatan moral, dan kedewasaan spiritual.

Kasus-kasus nyata menunjukkan bahayanya. Pada 2023, sebuah chatbot dakwah di Timur Tengah memberikan “fatwa otomatis” yang tidak sensitif konteks, menyebabkan salah tafsir hukum waris dalam kasus keluarga. Pada 2024, chatbot lain di Asia Selatan memberi jawaban ekstrem karena dilatih dari literatur yang bias. Jika fenomena ini meluas, masyarakat dapat terjebak dalam “otoritas semu”—percaya bahwa apa pun yang dihasilkan AI pasti benar.

Maka, pertanyaannya bukan hanya: “bolehkah AI dipakai untuk memberikan fatwa?” tetapi: “apa yang hilang ketika fatwa direduksi menjadi algoritma?”

AI dapat menjadi alat bantu—mengorganisasi literatur, membuka akses teks klasik, atau memudahkan pencarian dalil. Namun menjadikannya mufti adalah pengkhianatan terhadap epistemologi Islam yang berbasis ijtihad, dialog, dan tanggung jawab moral.

Fatwa memerlukan hati nurani, empati, pengalaman manusia, dan kedalaman spiritual—empat hal yang tidak dimiliki mesin. Ketika otoritas agama dipindahkan kepada sistem yang tanpa moral, maka yang hilang bukan hanya metodologinya, tetapi kemanusiaan yang menjadi inti hukum Islam.

Di tengah euforia kecerdasan buatan, kita perlu mengingat: teknologi dapat membantu kita mencari jawaban, tetapi ia tidak bisa menggantikan kebijaksanaan. Ulama mungkin terbatas, tetapi AI tidak memiliki jiwa. Dan dalam soal fatwa, jiwa adalah segalanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan