Amplop Kiai

Dalam beberapa momen saya menyaksikan, dengan mata sendiri, dari mana amplop-amplop kiai itu datang dan ke mana mereka pergi. Ceritanya akan saya awali dari masa yang paling dekat, terus mundur ke masa paling jauh, untuk melihat apakah tradisi itu telah berubah atau tak.

Pada Juli 2025, saat berada di sekitaran Tebuireng, Jombang, saya mengobrol dengan sastrawan Binhad Nurrohmat. Ia sudah cukup lama menjadi bagian dari keluarga ndalem salah satu pesantren besar di Jombang, Jawa Timur.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Salah satu obrolan yang ia ceritakan, adalah betapa sosok kiai atau keluarga ndalem masih menjadi “jujukan” masyarakat: anak sakit, datang ke kiai; anak harus bayar sekolah, datang ke kiai; keluarga kena musibah, datang ke kiai; beras habis, datang ke kiai. Intinya, segala masalah, solusinya datang ke kiai.

“Jadi, kalau saya di rumah, mau tidak mau ya harus ada,” ujar Binhad sembari tertawa.

**

Cerita itu akan tetap saya tempatkan hanya sebagai cerita, bukan sesuatu yang nyata, sampai pada akhir Agustus 2025, ketika saya sowan ke ndalem Gus Riza, sesepuh Pesantren Tebuireng, untuk pamitan.

Pagi itu saya duduk sendirian di beranda ndalem, menunggu Gus Riza. Saat itulah muncul seorang perempuan berdaster, bertamu. Usianya antara 50-60 tahun. Tapi ia tak mau ikut duduk. Ia hanya berdiri, sembari mengajak ngobrol ini-itu.

“Oh, Gus, maaf, ini…,” sapa perempuan itu ketika Gus Riza akhirnya muncul dari balik pintu. Gus Riza hanya tersenyum, kemudian masuk ke ndalem lagi. Perempuan itu masih berdiri terpaku di posisinya. Tak lama kemudian, Gus Riza muncul lagi, dan buru-buru mengulurkan tangannya kepada perempuan itu.

Meskipun pura-pura tak tahu, saya harus meliriknya: ada bundelan uang yang berpindah tangan. Dan perempuan itu pun berlalu. Inilah, mungkin, bagian dari apa yang diceritakan oleh Binhad sebulan sebelumnya itu.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan