AMSAL PANCAROBA
tangan angin meramal kata-kata waktu
bumi ini tercabik masa musim tujuh tabir
usang merasuk riadat doa-doa cakrawala
diam hanya menepi di dasar hati sandiwara
lorong doa menyihir mata batin sukma
amsal pancaroba tertidur pulas bak derita
tubuh-tubuh umpama ikan-ikan di pasar
terkebat angin membawa jalinan janji
terbata wabah hunian yang lata tak bermakna
sudahkah kita mengaji pada mata batin kayu
gugur tak menjadikan ia tersungkur tiba-tiba
mata kemarau tak menjadikan juling amsal
tembok batu rumput merajut pada bumi
kaki langkah maju melaju menumis waktu
cerita yang angin bawa : runtuh nan terjatuh
Sumenep, 05 Juli 2021.
RITME NADI KEMARAU
saban hari denyut melaut ke pulau rasa
perahu layar membujuk aib gelombang
terombang-ambing mimpi batin puisi
kemarau merantau-rantau, berdenyut nadi
basah, tangis, nan tersungkur tabiat tafakur
bersulam terik mata cagak hari gejolak
dua puluh hari kita bersekutu dengan abu
tapal batas jantung meraung seliut gunung
: ritme hati menjadikan ekspresi yang alibi
walau saja kemarau tandang di dada batu
riak rindu bunga bersedekah senyum rayu
riadat sujud berkaca pada asa nan asma-Nya.
angin di kebun raban terjangkit wabah corona
berkabung setengah jam dalam lamun peristiwa
hingga Tuhan yang satu, terkepung linang watu.
Sumenep, 2021.
TABIAT AIR
Beriak bulir membujuk batu-batu
Air selokan masih merajai senja ini
Merongrong tabiat luka-luka moksa
Padi terbit menyulam waktu
Samar-samar imaji berputar,
Memuja jernih air dalam bulir
Daun membaca asma tubuh
Satu jam angin mengaji sabda air
Dan kemarau hanya hiasan sabda arus
Mata sungai menyimpan ritus mutiara