Ananda Sukarlan, Puisi, dan Irama

Malam pembukaan Pertemuan Penyair Nusantara XIII, (11-14 September 2025) di Taman Ismail Marzuki menjelma bukan sekadar panggung puisi, melainkan altar bagi perjumpaan langka antara kata dan nada. Di sanalah Ananda Sukarlan—komponis yang telah menggubah lebih dari 500 tembang puitik—mempersembahkan empat karya terbarunya bersama soprano muda yang memesona, Ratnaganadi Paramita.

Andanda Sukarlan, Ratnaganadi, dan Shantined.

Keempat tembang itu—“Aku Cinta Pada-mu” (Doddi Ahmad Fauji), “September Tuarang” (Rissa Churria), “Pulang ke Pamulang” (Azizah Zubaer), dan “Cotto Makassar” (puisi saya)—mengalir dari piano Ananda dan suara Ratna seperti doa yang baru saja menemukan tubuhnya.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

“Tintanya masih basah,” ujar Ananda, setengah bercanda, menandakan bahwa karya-karya tersebut belum pernah dipentaskan sebelumnya.

Saya bertanya padanya tentang pilihan puisi yang digubah. Dengan jujur dan jenaka, Ananda menjawab bahwa tiga dari empat tembang itu baru saja selesai ditulis.

“September Tuarang” dipilih karena baris pertamanya yang menggoda: “Ini masih September, sayang.” Tembang itu telah dinyanyikan oleh peserta Kompetisi Piano Nusantara Plus, dan akan segera diterbitkan dalam volume ke-10 buku partitur Tembang Puitik Ananda Sukarlan.

Namun, sorotan malam itu jatuh pada “Cotto Makassar”—puisi saya yang diubah menjadi tembang dengan warna musikal yang tak terduga. “Warnanya dark & morbid,” kata Ananda, “tapi juga penuh rempah dan asam jeruk nipis.”

Ia menangkap kontras itu dengan akord disonan dan ritme yang tampak jenaka, namun menyimpan luka. “Saya mendengar luka yang dalam, tapi justru di situlah nikmatnya,” ujarnya.

Dari deretan penonton, saya merasakan bahwa Ananda telah menangkap “pesan rahasia” dalam puisi itu. “Nada-nada lincah itu seperti kaki kecil yang berjalan jinjit di antara pecahan kaca,” saya katakan, “melambangkan bahwa dalam hidup, kita harus tetap kuat dan penuh kesadaran menghalau kesedihan dengan hati-hati.”

Ratnaganadi—soprano yang baru saja memenangkan Kompetisi Nusantara Plus 2024, meraih golden ticket ke babak final Ananda Sukarlan Award 2025, dan akhirnya menjadi juara pertama—tampil dengan gestur dan suara yang prima.

“Ia bukan hanya cerdas secara intelektual,” kata Ananda, “tapi juga tajam secara musikal.”

Ia menambahkan bahwa partitur tak bisa sepenuhnya menyampaikan ekspresi, dan di situlah letak seni interpretasi. “Saya bisa menjelaskan lebih dalam saat saya sendiri yang memainkan piano,” ujarnya, “tapi banyak peserta kompetisi sudah membawakannya dengan kedalaman yang mengesankan.”

Percakapan kami kemudian beralih ke perbedaan antara “musikalisasi puisi” dan “tembang puitik”. Ananda menjelaskan bahwa tembang puitik adalah konsep, bukan gaya.

Ia merujuk pada tradisi art song dari Eropa—seperti Lied di Jerman, Mélodie di Prancis, dan Romanza di Italia. “Tembang puitik adalah puisi yang mengalami transformasi menjadi musik,” katanya, “dengan empat elemen utama: penyair, komposer, vokalis, dan instrumentalis.”

Berbeda dengan musikalisasi puisi yang cenderung lebih sederhana, tembang puitik menuntut pendalaman artistik dari semua pihak. “Pengiring” bukan sekadar latar, melainkan pendamping yang memberi makna metaforik pada melodi.

“Saya lebih suka menyebutnya pendamping,” ujar Ananda, “karena ia sejajar dengan penyanyi dalam hal virtuositas.”

Di balik semua itu, Ananda Sukarlan tetap menjadi sosok yang tak hanya menggubah musik, tetapi juga menggubah cara kita mendengar puisi. Ia telah menerima penghargaan dari Spanyol, Italia, dan Prancis, serta diakui sebagai salah satu dari 100 tokoh seni paling berpengaruh di Asia. Namun malam itu, di Jakarta, ia memilih duduk di depan piano, membiarkan puisi berbicara melalui nada.

Ananda Sukarlan adalah pianis dan komponis Indonesia yang telah memperdengarkan lebih dari 300 karya baru dari komponis dunia, banyak di antaranya mengusung elemen musik etnik Nusantara. Ia dikenal luas di Eropa dan Amerika, serta telah meraih berbagai penghargaan internasional, termasuk Disco de Oro di Spanyol dan gelar kesatriaan dari Presiden Italia. Karya-karyanya—seperti Rapsodia Nusantara dan Ars Amatoria—menjadi bahan kajian akademik di berbagai universitas dunia.

Sebagai penyandang Tourette–Asperger Syndrome, Ananda aktif mengembangkan pendidikan musik inklusif dan menjadi pembicara di berbagai institusi global. Ia juga memperkenalkan musik tradisional Jawa dan Bali ke panggung internasional, menginspirasi komponis seperti Jesús Rueda dan David del Puerto untuk menciptakan karya bertema Nusantara.

Ananda terus memperkuat diplomasi budaya Indonesia melalui musik, menjembatani tradisi lokal dengan ekspresi global. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang tercatat dalam 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century. Dan saya, sebagai penyair dan pendengar, hanya bisa menyimak dengan hati yang terbuka—karena di antara kata dan bunyi, ada ruang yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan