Kasus pengeras suara masjid adalah episode lanjutan dari beberapa kasus lain soal bagaimana penduduk muslim Indonesia bereaksi terhadap isu-isu simbolik, seperti kasus Klepon, kasus Khalid Basalamah, Masjid Illuminati, kasus jendela mirip salib, dan sejenisnya.
Mengapa penduduk muslim mudah bereaksi oleh hal-hal simbolik, namun jarang bereaksi pada hal-hal substantif dan universal? Salah satu akar masalahnya terletak pada kegagalan pendidikan Islam arus utama, seperti mimbar ceramah dan televisi, dalam menyajikan wawasan sosial; dan stagnansi pendidikan Islam khusus, seperti madrasah dan pesantren, dalam menyajikan kesadaran afektif.
Penduduk muslim secara umum lebih dekat dengan mimbar ceramah dan televisi sebagai sumber pemahaman agama. Sementara itu, madrasah dan pesantren, keduanya memiliki posisi spesial bagi sebagian kecil penduduk muslim, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rural.
Muatan agama di mimbar masjid dan televisi memang telah lama menjadi sorotan para ilmuwan karena besarnya gurita politik partisan dan logika industri media di balik panggung dakwah. Kalangan pesantren, di lain sisi, juga menyangsikan soal kemampuan bahasa arab, kematangan ilmu fikih & mantiq, dan kualitas tasawuf pendakwah selasar dan pendakwah televisi.
Dampak yang paling terasa dari gurita itu adalah populernya sajian agama yang simplistik, fokus pada hal-hal permukaan simbolik, dan primordialis. Kritik sosial dari berbagai kalangan, baik itu ilmuan, umat non-muslim, ataupun dari intelektual muslim, terhadap mereka disanggah melalui narasi reward & punishment, kisah-kisah ajaib dan cocoklogi yang sering dilebih-lebihkan oleh pendakwah.
Hal ini tidak bisa disalahkan, karena dalam wacana keilmuan agama di mimbar masjid dan televisi jarang atau bahkan tidak memuat ajaran tasawuf yang mendalam. Sehingga pendidikan agama berhenti pada kode-kode moral instan tanpa melihat bagaimana “dapur” dan proses memasaknya.
Tasawuf memang ranah yang kontroversial karena ada beberapa sisi memuat gagasan-gagasan ‘nyeleneh’ namun arif, dan sulit diterima oleh orang awam. Di sebagian sisi lain, tasawuf juga memuat ide-ide yang sering beririsan dengan filsafat dan antropologi–sesuatu yang absurd bagi imajinasi religius yang memaknai agama mutlak soal langit.