Api Terakhir di Tungku Ibu

Asap tipis masih menjilat langit-langit dapur. Bau kayu basah terbakar menempel di dinding hitam, bercampur dengan aroma bawang merah yang mulai digoreng. Di sudut ruangan, tungku batu berusia entah berapa puluh tahun itu berdiri seperti saksi bisu—retak-retak di sisinya, namun tetap tegak, menjaga bara yang tak pernah benar-benar padam.

Ibu duduk di bangku kecil, meniup api dengan kipas lidi. Matanya tak pernah lepas dari nyala yang sesekali meredup.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

“Api jangan sampai mati,” begitu selalu pesannya sejak dulu.

“Kalau api mati, dapur ini mati. Kalau dapur mati, rumah pun kehilangan nadinya.”

Aku menatap punggung ringkih itu dengan perasaan campur aduk. Pulang setelah bertahun-tahun merantau membuatku seperti orang asing di rumah sendiri. Di kota aku terbiasa dengan kompor gas, rice cooker, bahkan microwave. Sementara di sini, Ibu masih setia dengan kayu bakar, abu, dan asap.

“Ibu,” kataku ragu, “untuk apa repot-repot begini? Kenapa tidak pakai kompor saja? Lebih cepat, bersih, praktis. Semua orang sudah begitu.”

Ibu berhenti mengipasi. Sesaat ia diam seolah menimbang kata-kata yang harus dilontarkan. Lalu perlahan ia menjawab, “Kalau semua orang sudah begitu, apakah kita juga harus begitu? Api di tungku ini bukan hanya soal memasak. Ia mengikat doa, mengikat ingatan, mengikat rumah agar tak goyah diterpa angin.”

Aku menghela napas. Bagiku, itu terdengar terlalu romantis untuk sebuah tungku reyot yang nyaris roboh.

Hari-hari berikutnya aku kembali melihat rutinitas yang sama. Setiap subuh, sebelum azan berkumandang, Ibu sudah duduk di dapur. Membelah kayu, menyalakan api, merebus air. Tangannya gemetar, batuknya makin sering, tetapi ia tidak pernah mau beranjak dari tungku itu.

Suatu pagi, aku tidak tahan lagi. “Bu, berhentilah. Kau batuk-batuk karena asap ini. Kalau terus begini, siapa yang akan sakit? Kompor itu, Bu, bukan dosa. Listrik itu bukan kutukan. Dunia sudah berubah.”

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan