Asap tipis masih menjilat langit-langit dapur. Bau kayu basah terbakar menempel di dinding hitam, bercampur dengan aroma bawang merah yang mulai digoreng. Di sudut ruangan, tungku batu berusia entah berapa puluh tahun itu berdiri seperti saksi bisu—retak-retak di sisinya, namun tetap tegak, menjaga bara yang tak pernah benar-benar padam.
Ibu duduk di bangku kecil, meniup api dengan kipas lidi. Matanya tak pernah lepas dari nyala yang sesekali meredup.

“Api jangan sampai mati,” begitu selalu pesannya sejak dulu.
“Kalau api mati, dapur ini mati. Kalau dapur mati, rumah pun kehilangan nadinya.”
Aku menatap punggung ringkih itu dengan perasaan campur aduk. Pulang setelah bertahun-tahun merantau membuatku seperti orang asing di rumah sendiri. Di kota aku terbiasa dengan kompor gas, rice cooker, bahkan microwave. Sementara di sini, Ibu masih setia dengan kayu bakar, abu, dan asap.
“Ibu,” kataku ragu, “untuk apa repot-repot begini? Kenapa tidak pakai kompor saja? Lebih cepat, bersih, praktis. Semua orang sudah begitu.”
Ibu berhenti mengipasi. Sesaat ia diam seolah menimbang kata-kata yang harus dilontarkan. Lalu perlahan ia menjawab, “Kalau semua orang sudah begitu, apakah kita juga harus begitu? Api di tungku ini bukan hanya soal memasak. Ia mengikat doa, mengikat ingatan, mengikat rumah agar tak goyah diterpa angin.”
Aku menghela napas. Bagiku, itu terdengar terlalu romantis untuk sebuah tungku reyot yang nyaris roboh.
Hari-hari berikutnya aku kembali melihat rutinitas yang sama. Setiap subuh, sebelum azan berkumandang, Ibu sudah duduk di dapur. Membelah kayu, menyalakan api, merebus air. Tangannya gemetar, batuknya makin sering, tetapi ia tidak pernah mau beranjak dari tungku itu.
Suatu pagi, aku tidak tahan lagi. “Bu, berhentilah. Kau batuk-batuk karena asap ini. Kalau terus begini, siapa yang akan sakit? Kompor itu, Bu, bukan dosa. Listrik itu bukan kutukan. Dunia sudah berubah.”
Ibu menatapku lama. Matanya sayu, tapi tajam. “Kau kira aku tidak tahu dunia sudah berubah? Aku hanya menjaga apa yang tersisa. Api ini… adalah nyawa rumah. Kalau kau padamkan, kau padamkan juga kenangan ayahmu, doa nenekmu, dan semua yang pernah menghidupi kita di sini.”
Kata-katanya membuatku bungkam. Tapi tetap saja, logikaku menolak. Bagiku itu hanya romantisme usang yang mengekang. Puncaknya terjadi malam itu. Aku melihat Ibu batuk keras hampir tercekik oleh asap. Aku panik, lalu spontan menyiram bara tungku dengan air. Api mendesis, padam seketika.
“Kenapa kau matikan, Nak?” suara Ibu pecah, lirih, seperti retakan batu yang patah.
“Aku hanya ingin kau berhenti menyiksa diri, Bu! Lihat, ini berbahaya! Api ini tidak penting lagi.”
Ibu terdiam. Tangannya meraba abu yang masih hangat, seolah mencari sisa-sisa nyala. Matanya basah.
“Kau pikir aku menyiksa diri? Api ini yang membuat kita tetap hidup saat beras hanya secangkir. Api ini yang membuat tetanggamu mau berbagi karena bau sayurku sampai ke rumahnya. Api ini yang mengajarkanmu arti sabar, arti menunggu, arti syukur. Dan kau bilang tidak penting?”
Aku tertegun. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti orang asing yang gagal memahami bahasa ibunya sendiri.
Sejak malam itu dapur berubah sunyi. Tidak ada lagi asap menempel di dinding. Tidak ada lagi suara kayu berderak. Ibu memasak dengan kompor gas yang kubelikan. Semua lebih bersih, cepat, dan praktis. Tapi rumah ini tiba-tiba terasa dingin.
Ibu jarang ke dapur. Ia lebih sering duduk di beranda, memandangi halaman kosong. Seolah ada sesuatu yang telah diambil dari tubuhnya. Dan aku sadar, itu adalah api yang kuserahkan pada mesin.
Beberapa bulan kemudian Ibu pergi untuk selamanya. Di hari pemakaman orang-orang berdatangan, membawa doa. Aku masuk ke dapur, menyalakan kompor untuk membuat teh bagi para pelayat. Teh mendidih, tapi tak ada aroma yang menempel, tak ada rasa yang mengikat.
Aku duduk di depan tungku tua yang retak, kini penuh abu kering. Ingatan-ingatan berkelebat: tawa ayah saat mengipas api, nyanyian Ibu ketika memasak, doa nenek yang berhembus bersama asap. Semua lenyap bersama padamnya bara.
Baru saat itu aku mengerti. Yang mati bukan hanya Ibu. Yang mati adalah rumah ini. Yang mati adalah nadi yang pernah dijaga oleh api kecil di tungku reyot itu.
Aku menangis. Untuk Ibu. Untuk api yang kurelakan padam. Untuk rumah yang kehilangan nadinya. Di luar, angin berhembus pelan seolah membawa pesan terakhir:
Ada api yang tak boleh padam meski dunia tergesa menyebutnya usang, karena di situlah doa tinggal, di situlah rumah bernafas. Ketika bara itu mati, doa hanya menjadi gema tanpa tanah, rumah hanya menjadi dinding tanpa jiwa, dan manusia hanya menjadi tubuh yang lupa jalan pulang.