Sejarah adalah kisah para raja, para penguasa, dan orang-orang “hebat”. Sejarah hanya sibuk dengan benda-benda “terbaca” (lempengan batu, kayu, lembar-lembar kertas, dan sesuatu yang serba material lainnya). Sejarah kemudian menjadi apa yang tersaji dalam bentuk karya orang lain yang sama sekali tidak mengalami dan tidak pula menyaksikan suatu peristiwa yang dilukiskan.
Sejarah dibangun hanya atas dasar “penglihatan” si penulis dengan kacamatanya yang asing dan tidak ambil pusing terhadap apa saja yang tidak material. Kita diyakinkan untuk selalu menganggukkan kepala pada semua itu. Para pendidik kita akan bilang “tidak urgen dan tidak signifikan” tatkala kita “berkisah” tentang orang-orang kecil, tidak hebat, dan sekaligus yang marjinal.
Mereka juga akan menakut-nakuti bahwa: berdosalah jika kita “berkisah” tidak atas dasar yang material, tidak valid dan tidak autentik, katanya. Dan, akhirnya, kita lalu lebih percaya hasil pemotretan orang lain, kita lebih mantap pada gambar “wajah kita” di cermin orang lain ketimbang gambar yang kita saksikan sendiri, bahkan seringkali, tragisnya, kita pelan-pelan menyesuaikan dengan potret yang dibuat orang lain.
Kita lupa, atau malah tidak sadar, akan perlunya bertanya: jika sejarah adalah rekonstruksi peristiwa, benarkah bahwa orang-orang biasa, rakyat kebanyakan tidak pernah mempunyai peran sedikitpun? bukankah dalam setiap peristiwa besar-kecil, justru tidak sedikit rakyat kebanyakanlah yang menjadi korban? Bukankah apa yang disebut sebagai dokumen sejarah tidak lebih dari sebuah narasi bikinan orang lain, yang bukan saja tidak terlibat dalam peristiwa itu, melainkan juga mempunyai kaca mata tersendiri dan “didorong” oleh kepentingan-kepentingan subjektifnya? Mengapa kesaksian dan pengalaman para pelaku yang tercecer menjadi cerita rakyat, legenda, mitos, dan dongeng tidak berlaku untuk dijadikan fakta hanya karena semua itu berupa fiksi?
Pastilah bahwa catatan-catatan (dokumen tertulis apalagi yang resmi) itu dibuat setelah peristiwa berlalu berdasarkan ingatan dan hafalan yang tersisa, sehingga catatan-catatan itu sesungguhnya bukanlah peristiwanya. Maka, kalau begitu, lalu apa bedanya dengan fiksi?