Di lautan sejarah kebudayaan Indonesia modern, ada nama Asrul Sani yang terus bergelombang dan berdiri di antara dua dunia, yaitu dunia ide (fikra) dan dunia gerakan (harakah). Ia bukan sekadar sastrawan, bukan sekadar sutradara, dan bahkan bukan sekadar organisator kebudayaan—melainkan perumus suatu cara berpikir tentang menjadi manusia Indonesia melalui kebudayaan.
Ketika bersama Nahdlatul Ulama (NU) membentuk Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) pada awal 1960-an, ia sebenarnya sedang menegaskan satu tesis penting bahwa kebudayaan tidak boleh dilepaskan dari spiritualitas, dan bahwa Islam bukan lawan modernitas, melainkan fondasi moral untuk menghadapinya.

Bahwa kebudayaan sebagai gerak, bukan warisan, Asrul pernah mengatakan, “Budaya itu kata kerja.” Ucapan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya merupakan kritik filosofis terhadap cara berpikir masyarakat yang menjadikan kebudayaan sekadar benda mati—sesuatu yang dikoleksi, disakralkan, dan dipamerkan. Bagi Asrul, kebudayaan adalah tindakan manusia merespons keadaan, menjawab tantangan, dan mengolah kehidupan yang semakin kompleks.
Ketika hujan turun dan seseorang mengambil daun pisang untuk berlindung, kata Asrul, itulah kebudayaan. Dalam tindakan sederhana itu terdapat kesadaran praktis, intuisi, dan kreativitas — ciri khas manusia yang berbudaya. Artinya, budaya tidak selalu harus berbentuk karya besar seperti novel, film, atau tarian, tetapi bisa juga berupa tindakan kecil atau sederhana yang lahir dari kemampuan manusia menanggapi lingkungannya secara kreatif.
Pandangan ini mengandung dimensi eksistensial, manusia ada sejauh ia bertindak. Kebudayaan adalah cara manusia “menjadi” dan ”meng-ada”, bukan sekadar “memiliki”. Karena itu, baginya, tugas seniman bukan menjaga masa lalu, tetapi menafsirkan masa kini. Dengan cara berpikir seperti ini, Asrul melawan arus konservatif yang memandang budaya sebagai peninggalan nenek moyang yang harus dijaga bentuknya, tanpa keberanian untuk mengubah.
Di Lesbumi ada pergulatan ideologi kebudayaan. Lesbumi lahir dalam situasi politik yang penuh tarik-menarik pada awal 1960-an. Negara baru saja merdeka, tetapi wacana kebudayaan telah terpecah, di satu sisi ada Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berpihak pada ideologi komunis, menekankan fungsi sosial-politik seni, di sisi lain, ada kelompok kebudayaan yang menolak subordinasi seni pada ideologi apa pun, seperti Manifes Kebudayaan (Manikebu). Lesbumi muncul sebagai jalan ketiga—menawarkan paradigma (manhaj) kebudayaan berbasis Islam yang spiritual namun tetap modern.
