Asrul Sani adalah salah satu wajah paling berkilau yang pernah lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Dalam sejarah politik dan kebudayaan Indonesia, namanya tidak hadir sebagai gelombang yang menabrak, melainkan sebagai arus yang menengahi —mengalir di antara kutub ideologis yang saling menegasikan. Di antara suara-suara yang membentuk lanskap batin Indonesia merdeka, Asrul Sani hadir mula-mula sebagai penyair muda Angkatan ‘45 —terutama bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin— menyuarakan kemerdekaan bukan hanya sebagai peristiwa politik, tetapi sebagai ledakan kesadaran manusia.

Bersama seniman segenerasinya, dia membentuk Gelanggang Seniman Merdeka, komunitas seniman yang merupakan sebuah persekutuan kesadaran yang tidak hanya lahir dari kebutuhan berkesenian, melainkan terutama dari pergolakan roh dan pikiran yang menolak keterbelengguan. Mereka bukan sekadar ingin menulis puisi atau melukis alam, melainkan hendak mencipta manusia Indonesia yang hidup: manusia yang berpikir dengan kepala sendiri, merasa dengan kulit sendiri, dan berdiri dengan kaki sendiri di tanah yang baru saja merebut kemerdekaan. Dari ruang-ruang diskusi yang sempit dan penuh asap rokok, mereka menyalakan api kesadaran: kebebasan sejati bukan hadiah politik. Ia lahir dari pergulatan batin yang terus-menerus dengan tradisi, sejarah, dan masa depan.

Bagi Asrul Sani, Gelanggang Seniman Merdeka bukan sekadar komunitas seniman. Ia adalah ruang batin dan intelektual tempat generasi muda Indonesia pasca-kemerdekaan merumuskan ulang makna kebudayaan. Gelanggang adalah tempat ia menyuarakan bahwa menjadi Indonesia berarti menjadi manusia dunia yang berakar, merdeka, dan berjiwa. Di sana, seni bukan hanya bentuk ekspresi, melainkan cara berpikir dan bertanggung jawab terhadap kemanusiaan. Dalam perdebatan dan pencarian gagasan, Asrul menemukan bahwa kebudayaan tidak lahir dari doktrin atau ideologi, melainkan dari keberanian menatap diri sendiri dan zamannya. Gelanggang Seniman Merdeka baginya adalah laboratorium kesadaran di mana cita-cita kemerdekaan diuji bukan oleh politik, melainkan oleh kejujuran seni dan kedalaman nurani.
Seperti Chairil Anwar, dia menulis puisi. Namun, berbeda dengan Chairil, puisinya bukan teriakan yang meledak-ledak, melainkan gema yang tenang dan dalam. Dia menyusuri lorong-lorong eksistensi, mengimpikan kebebasan dalam kata-kata yang lembut, seperti tampak dari puisinya “Surat dari Ibu”: Pergi ke dunia luas, anakku sayang/ pergi ke dunia bebas!/ Selama angin masih angin buritan/ dan matahari pagi menyinar daun-daunan/ dalam rimba dan padang hijau// Pergi ke laut lepas, anakku sayang/ pergi ke alam bebas!…
Dan jejak Asrul tidak berhenti di puisi. Ia melangkah ke medan kebudayaan, menjadi pemikir dan konseptor yang tajam dan visioner. Dia juga sineas, menerjemahkan batin bangsa ke layar perak, juga penerjemah sastra dunia, dan membawanya ke panggung teater —membuka jendela baru bagi Indonesia.
Dalam semua peran itu, satu benang merah tetap berkilau: jalan wasatiah, jalan tengah yang tidak netral, tetapi penuh makna —jalan yang mencari keseimbangan antara warisan dan penciptaan, antara iman dan kebebasan, antara transendensi dan sejarah. Ia tidak memilih Barat atau Timur, tidak tunduk pada politik sebagai panglima, dan tidak larut dalam sekularisme yang memisahkan iman dari ekspresi budaya.
Sejak awal, Asrul Sani menapaki jalan wasatiah: sebuah jalan tengah yang bukan kompromi, melainkan sintesis batin antara warisan dunia, kebebasan manusia, dan nilai-nilai spiritual Islam. Jalan ini bukan jalan yang sunyi, melainkan jalan yang sabar —menyusuri polemik, menjawab dengan surat, dan membentuk lembaga yang menegaskan bahwa kebudayaan Indonesia adalah tubuh yang berjiwa, bukan sekadar medan ideologi.
Dalam sejarah intelektual Indonesia, Asrul Sani adalah juga sebuah evolusi kesadaran yang secara konsisten berdiri di bumi wasatiah kebudayaan. Frase wasatiah kebudayaan tampak anakronistis, namun secara retrospektif sangat tepat menggambarkan warisan dan posisi intelektual pemikir besar ini —seperti akan ditunjukkan nanti. Evolusi kesadarannya tercermin dari Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), Lesbumi (1962), sampai Surat Kepercayaan (1966). Evolusi pandangan dan sikap kebudayaannya tumbuh dalam iklim zaman kemerdekaan yang haus arah dan makna, tumbuh pula dalam gejolak sosial-politik yang menuntut keberpihakan dan kejelasan sikap.
Dia merespons setiap isu mengenai prinsip dasar dari arah dan politik kebudayaan Indonesia yang dalam pandangannya krusial. Dari situ, Asrul belajar menimbang antara idealisme dan realitas, antara semangat revolusi dan tanggung jawab moral seorang intelektual. Ia tidak memilih ekstrem ideologis mana pun, melainkan mencari keseimbangan di tengah arus, di mana kebudayaan dapat menjadi jembatan antara iman, kemanusiaan, dan kemerdekaan berpikir.
Setelah puisinya menggema dalam Angkatan ‘45, Asrul Sani melangkah ke gelanggang yang lebih luas —secara harfiah dan simbolik. Ia menjadi konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang tahun 1950, sebuah dokumen yang menandai pergeseran dari polemik kebudayaan yang mendikotomikan Barat dan Timur menuju visi yang lebih terbuka dan universal. Di tengah ketegangan ideologis pasca-kemerdekaan, Gelanggang menyuarakan bahwa kebudayaan Indonesia bukan sekadar hasil tarik-menarik antara dua kutub, melainkan warisan dunia yang hidup dalam tubuh bangsa yang merdeka.
Dalam surat itu, Asrul Sani tidak hanya menulis sebagai penyair, tetapi sebagai pemikir kebudayaan yang menolak reduksi identitas. Ia menegaskan bahwa menjadi Indonesia berarti menjadi bagian dari dunia, tanpa kehilangan akar. Di sinilah wasatiah kebudayaan mulai tampak sebagai jalan batinnya: bukan jalan tengah yang netral, tetapi jalan yang mengakui kompleksitas dan memilih sintesis sebagai bentuk keberanian. Gelanggang Seniman Merdeka bukan sekadar ruang diskusi, tetapi medan spiritual dan intelektual tempat Asrul Sani mulai menenun kebudayaan sebagai badan yang berjiwa, tubuh yang ber-roh. Jalan wasatiah kebudayaan itu merupakan sikap yang secara konsisten ditempuhnya dalam pertarungan ideologi politik-kebudayaan di masa-masa berikutnya.
Esai ini akan menelusuri pelayaran Asrul Sani dalam gelombang-gelombang besar pemikiran dan ideologi politik kebudayaan Indonesia secara retrospektif. Ia akan menunjukkan konsistensi sikap wasatiah Asrul Sani dan bagaimana sikap itu menjadi poros keseimbangan di tengah pertarungan ideologis yang sering membelah tubuh kebudayaan Indonesia. Dalam arus deras antara humanisme universal dan ideologi kerakyatan, antara spiritualitas dan rasionalitas modern, Asrul menempuh jalur tengah yang tidak pernah kehilangan arah. Ia bukan hanya saksi sejarah, tetapi pelaut yang sadar akan peta bintang zamannya: menolak dogmatisme, tetapi juga menolak nihilisme; menerima perubahan, namun tidak tercerabut dari akar nilai. Melalui perjalanan intelektualnya dari Gelanggang hingga Lesbumi, dan akhirnya ke Surat Kepercayaan 1966, Asrul memperlihatkan bahwa kebudayaan sejati adalah dialog yang tak pernah selesai antara nurani dan sejarah.
Esai ini merupakan refleksi retrospektif terhadap sejarah politik kebudayaan Indonesia. Karenanya, istilah wasatiah di sini digunakan sebagai jembatan semantik antara masa lalu dan kesadaran hari ini. Ia memperlihatkan bagaimana nilai wasatiah —yang kini menjadi kosa etik dalam wacana Islam Indonesia kontemporer, khususnya di kalangan nahdliyyîn— sebenarnya telah hidup dalam praksis dan intuisi kebudayaan Asrul Sani, jauh sebelum istilah itu populer. Dengan demikian, moderasi beragama yang bergaung kencang belakangan ini menemukan resonansi historisnya dalam kebudayaan, yang ditancapkan NU dengan penuh keyakinan di zaman politik kebudayaan penuh ketegangan.
Dalam semangat retrospektif, esai ini menata sejarah bukan untuk mengabadikan kronologi, melainkan untuk menyingkap kesinambungan ruh kebudayaan yang moderat, inklusif, dan kreatif —satu jalan sintesis di antara pertarungan wacana dan ideologi kebudayaan. Karenanya, esai ini merupakan naratif-interpretatif —menunjukkan jalan tengah Asrul di antara pusaran ideologi besar, sambil menegaskan bahwa wasatiah di sini adalah tafsir kita hari ini terhadap keseimbangan atau moderasi kebudayaan yang ia hidupi. Dalam konteks itu, dengan mengikuti pelayaran Asrul Sani, kita membaca masa lalu untuk memahami kebijaksanaan yang relevan bagi masa kini.
Maka, setelah nanti kita melihat bagaimana Asrul Sani mengambil jalan wasatiah kebudayaan hampir sepanjang karier intelektualnya, kita akan merefleksikannya untuk hari ini —zaman ketika kebudayaan dan agama kembali diuji oleh ekstremisme baru dalam berbagai bentuknya. Di sini tampak paralelisme yang menarik antara jalan wasatiah kebudayaan Asrul Sani dan gagasan moderasi beragama yang dalam beberapa tahun terakhir didengungkan dengan lantang —antara lain dan terutama oleh mantan Menteri Agama Dr. H.C. Lukman Hakim Saifuddin. Jika moderasi beragama lahir dari pengalaman pahit radikalisme dan ekstremisme agama, maka moderasi kebudayaan tumbuh dari luka sejarah yang sama dalam bidang lain: radikalisme politik kebudayaan yang pernah membelah dunia kesenian dan pemikiran Indonesia.
Asrul telah mencontohkan bahwa keseimbangan bukanlah sikap pasif atau kompromistis, melainkan keberanian untuk tetap berpikir jernih di tengah hiruk-pikuk ideologi yang saling meniadakan. Dalam konteks hari ini, warisan pemikirannya menjadi cermin: bahwa merawat kebudayaan berarti menjaga akal sehat, empati, dan keutuhan manusia di tengah godaan fragmentasi zaman.
Tetapi ironisnya, Asrul Sani justru tidak muncul di layar ingatan NU. Namanya jarang disebut dalam narasi kebudayaan Islam, seolah perjalanan intelektual dan spiritualnya terhapus dari peta sejarah di mana dia turut membentuknya. Namun ironi itu tidak berdiri sendiri, sebab Lesbumi-NU —yang pernah menjadi benteng kebudayaan religius dan tandingan ideologis terhadap Lekra— pun tenggelam dalam layar sejarah intelektual Indonesia modern.
Hilangnya keduanya menandakan lebih dari sekadar kelalaian ingatan: ia adalah gejala keterputusan antara tradisi religius dan tradisi intelektual kita. Di satu sisi, NU melanjutkan jalan dakwah dan sosialnya, namun di sisi lain melupakan jejak para seniman dan pemikirnya yang telah memperjuangkan kebudayaan sebagai ekspresi iman. Padahal, dalam sosok Asrul Sani dan dalam ruh Lesbumi, tersimpan sebuah pelajaran berharga: kebudayaan bukan sekadar hiasan dari keimanan, melainkan jalan panjang untuk memanusiakan iman itu sendiri.
Peta Konseptual
Untuk mengikuti pelayaran Asrul Sani, kita akan menggunakan peta konseptual tertentu, yaitu kerangka yang bertolak dari pemahaman bahwa istilah wasatiah, meskipun anakronistis, dapat digunakan secara retrospektif untuk membaca posisi Asrul Sani dalam sejarah politik-kebudayaan Indonesia. Dalam konteks ini, wasatiah bukan hanya berarti moderasi, tetapi lebih dalam: suatu sikap keseimbangan intelektual dan spiritual yang menolak ekstremisme ideologis, baik dari Barat maupun Timur, sekularisme maupun dogmatisme religius. Asrul tidak menempatkan kebudayaan sebagai alat politik atau agama sebagai ideologi, melainkan sebagai ruang batin manusia untuk mencari kesatuan makna.
Peta konseptual ini —lihat Diagram 1 di bawah— memperlihatkan bagaimana evolusi sikap wasatiah Asrul Sani berlangsung secara konsisten dalam tiga momen penting. Pertama, Surat Kepercayaan Gelanggang (1950), yang muncul sebagai respons terhadap Polemik Kebudayaan 1935 —menegaskan bahwa Indonesia bukan harus memilih antara Barat atau Timur, melainkan menjadi ahli waris sah kebudayaan dunia. Kedua, Lesbumi (1962), sebagai respons praksis dan ideologis terhadap dominasi Lekra yang menundukkan seni di bawah duli politik, menandai upaya Asrul dan rekan-rekannya menegakkan keseimbangan antara iman dan kebebasan kreatif. Ketiga, Surat Kepercayaan (1966), sebagai respons terhadap Lekra yang antiagama dan Manifes Kebudayaan yang sekular, yang secara konseptual menempatkan Islam bukan sebagai alat perjuangan politik, tetapi sebagai ruh yang mengikat dan memberi bentuk batin pada kebudayaan.
Dari ketiga pilar tersebut, terbaca kesinambungan dan kedewasaan pemikiran Asrul Sani dalam menapaki jalan wasatiah kebudayaan. Ia berdiri di tengah dua kutub ekstrem: antara Lekra yang menjadikan politik sebagai panglima dan Manifes Kebudayaan yang menjadikan humanisme sekuler sebagai ukuran tertinggi seni. Di antara keduanya, Asrul mencari ruang sintesis —tempat iman, kemanusiaan, dan kebebasan dapat berdialog tanpa saling meniadakan. Jalan inilah yang menandai pelayaran intelektual Asrul Sani sebagai satu model kesadaran kebudayaan yang tetap relevan di tengah kegaduhan ideologis Indonesia hingga hari ini.
Dengan peta konseptual itu, akan tampak apa yang berubah dan apa yang tetap dalam sejarah intelektual dan politik kebudayaan kita. Yang berubah adalah lingkungan atau ekosistem kebudayaan seiring dengan perkembangan zaman, sedangkan yang tetap adalah pilihan jalan tengah Asrul Sani —suatu jalan wasatiah yang tak ia sebutkan, tapi ia jalani dengan penuh kesadaran.

Evolusi pemikiran Asrul Sani (yang lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926, dan meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004) tidak tumbuh seperti garis linier yang dingin, melainkan seperti lingkar usia yang terus membuka cakrawala batin baru (lihat Diagram 2). Jika perjalanan pikiran Asrul Sani kita bentangkan sebagai garis usia, maka tampak bagaimana usia bukan sekadar angka, melainkan juga wadah bagi kedalaman batin yang terus tumbuh.

1950 — Layar Pembebasan: ketika menyusun Surat Kepercayaan Gelanggang pada 1950, ia baru berusia 24 tahun —seorang intelektual muda pascarevolusi yang masih menjadikan kebebasan individu sebagai titik tolak pencarian makna. Semangatnya adalah semangat generasi yang baru merdeka: membebaskan diri dari feodalisme lama dan menolak keterkurungan tradisi, tanpa merasa resah terhadap absennya agama dalam wacana kebudayaan.
1962 — Titik Balik Iman: dua belas tahun kemudian, pada usia 36 tahun, ia ikut mendirikan Lesbumi (1962). Di fase inilah kebebasan mulai mencari akar: pengalaman hidup, tanggung jawab sosial, dan perjalanan spiritual (terutama haji 1963) membuatnya menyadari bahwa kebudayaan tanpa fondasi iman akan kehilangan arah. Dalam masa transisi ini, agama tidak lagi sekadar latar kultural, tetapi sumber nilai yang harus hadir dalam praksis kebudayaan.
1966 — Ruh sebagai Kompas Pelayaran: ketika menulis Surat Kepercayaan 1966, pada usia 40 tahun, pandangannya telah memasuki fase kontemplatif, masa yang sudah matang. Ia tidak lagi sekadar merespons dominasi ideologi, tetapi menegaskan peran agama sebagai ruh pemersatu kebudayaan —terutama ketika Lekra dan arus sekular mencoba menyingkirkan agama itu sendiri. Dengan demikian, jalan wasatiah Asrul Sani lahir bukan dari kompromi instan, tetapi dari kematangan batin yang tumbuh bersama pengalaman zaman dan pertumbuhan usianya.
Surat Kepercayaan Gelanggang 1950: Layar Pertama Wasatiah Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia modern adalah sebuah pelayaran panjang: lautan ide dan iman yang tak pernah tenang. Di atas geladaknya, para penyair, pemikir, dan budayawan berlayar dengan kapal yang berbeda-beda, membawa arah dan keyakinan masing-masing. Ada yang berangkat dengan dayung rasionalitas; ada yang berlayar dengan layar ideologi; ada pula yang berlayar dengan kompas nurani. Gejolak zaman kerap mengguncang mereka —antara keinginan untuk menjadi modern dan kerinduan untuk tetap berakar, antara cita-cita kebebasan dan panggilan iman. Dalam pelayaran yang penuh badai itu, Asrul Sani tampil sebagai nakhoda yang mencari keseimbangan, menolak karam di ekstrem mana pun. Ia tidak menolak angin perubahan, tetapi menegakkan tiang layarnya dengan tali tradisi dan tambang kesadaran spiritual. Di tengah riuhnya seruan ideologi, Asrul mengajarkan bahwa kebudayaan sejati adalah perjalanan batin yang tak pernah berhenti mencari rumah di antara gelombang zaman.
Pada dekade 1930-an, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda, perdebatan besar mengguncang laut intelektual dan seniman. Polemik Kebudayaan —yang dimulai oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan dijawab oleh Sanusi Pane, Ki Hadjar Dewantara, dan tokoh-tokoh lain— menjadi arena tempat bangsa muda Indonesia merumuskan jati dirinya. Takdir, dengan semangat modernisnya, menyerukan perlunya meninggalkan “jiwa lama” yang dianggap mistik, statis, dan irasional, untuk memasuki dunia rasionalitas dan kemajuan Barat. Ia percaya bahwa masa depan Indonesia hanya bisa dibangun di atas fondasi ilmu pengetahuan, individualisme, dan kebebasan berpikir.
Namun Sanusi Pane dan para pembela “jiwa Timur” menolak gagasan itu. Mereka melihat kebudayaan bukan semata sistem nilai, tetapi nafas spiritual bangsa. Bagi Sanusi, modernitas tanpa jiwa adalah kekosongan: Barat memang unggul dalam ilmu dan teknologi, tetapi kehilangan keseimbangan batin. Timur, sebaliknya, kaya akan spiritualitas namun kurang dalam rasionalitas. Maka yang dibutuhkan bukan penolakan terhadap salah satu, melainkan sintesis antara keduanya —paduan ilmu dan jiwa, rasio dan rasa, akal dan iman. Polemik itu menjadi cermin pertama dari kegelisahan mendasar mengenai arah kebudayaan Indonesia: bagaimana menjadi modern tanpa kehilangan ruh.
Dari pertarungan ide tersebut lahir kesadaran baru tentang posisi seniman dan intelektual Indonesia di tengah arus globalisasi budaya. Dua dekade kemudian, generasi muda yang lahir dari pengalaman kemerdekaan —Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin, dll.— menulis Surat Kepercayaan Gelanggang (1950) sebagai suara generasi baru. Mereka adalah anak-anak dari Polemik Kebudayaan, yang mewarisi kontroversi antara rasionalitas Barat dan spiritualitas Timur, namun mereka memilih jalan lain: menegaskan kebebasan individu untuk mencipta, tanpa beban ideologi Timur atau Barat. Surat itu bukan hanya pernyataan estetika, tetapi manifestasi dari pergulatan panjang bangsa ini mencari bentuk jiwanya sendiri di antara dua kutub peradaban yang terus berdebat sejak Polemik Kebudayaan dicanangkan.
Demikianlah pelayaran Asrul Sani dimulai dari dermaga Gelanggang —sebuah lingkaran kecil seniman muda Jakarta yang merespons Polemik Kebudayaan. Di tengah gegap-gempita revolusi yang baru usai, surat itu seperti bendera yang dikibarkan di buritan kapal: tanda bahwa mereka, generasi pasca-kemerdekaan, hendak berlayar dengan kompas sendiri. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia,” tulis mereka, menegaskan kebebasan individu untuk mencipta, tanpa beban ideologi Timur atau Barat. Mereka melanjutkan bahwa warisan itu akan mereka teruskan dengan cara mereka sendiri —dengan puisi, dengan film, dengan teater, dengan pemikiran yang tidak tunduk pada kutub mana pun.
Surat itu bukan hanya pernyataan estetika, melainkan juga manifestasi dari pergulatan panjang bangsa ini mencari bentuk jiwanya sendiri di antara dua kutub peradaban yang terus berdebat sejak Polemik Kebudayaan. Asrul Sani, konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang, menolak segala bentuk dogma —baik agama, adat, maupun ideologi— yang dianggap membatasi kebebasan rohani seniman. Bagi mereka, bangsa yang baru merdeka harus melahirkan manusia merdeka: manusia yang berpikir, merasa, dan mencipta tanpa dikungkung otoritas lama. Dalam arti itu, Surat Kepercayaan Gelanggang dapat disebut sebagai manifestasi paling jujur dari humanisme eksistensial dalam kebudayaan Indonesia. Mereka bukan sekadar menuntut kedaulatan individu dan kebebasan berekspresi, melainkan juga menegaskan martabat manusia sebagai pusat makna dunia pascakolonial.
Sebagai bangsa yang baru merdeka, mereka mencari definisi dan identitas keindonesiaan yang belum sempat dipahat sejarah. Kemerdekaan politik memang sudah diproklamasikan, namun hal itu ternyata belum cukup. Mereka haus akan kemerdekaan jiwa, akan bahasa batin yang mampu menamai diri mereka sendiri di antara bayang-bayang penjajahan dan cumbu-rayu modernitas. Dalam spirit itu, mereka menulis, “Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang…, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.” Kalimat itu bukan sekadar deklarasi estetika, melainkan pernyataan eksistensial: bahwa menjadi Indonesia berarti berpikir, merasa, dan berkarya dari kedalaman pengalaman manusia yang bebas. Keindonesiaan bukanlah warisan biologis atau geografis, melainkan pencapaian spiritual dan intelektual yang lahir dari keberanian menafsirkan dunia dengan suara sendiri.
Dalam semangat wasatiah kebudayaan dan pencarian identitas keindonesiaan itulah, bagi mereka, revolusi belum selesai. Kemerdekaan yang baru diraih hanyalah pembuka bab pertama dari perjuangan yang lebih halus namun lebih dalam: revolusi nilai dan kesadaran. Nilai-nilai lama yang usang —yang menindas kebebasan berpikir dan mematikan daya cipta— harus dihancurkan, sementara nilai-nilai baru yang relevan dengan kemanusiaan dan kemerdekaan batin harus ditegakkan. Bagi generasi Gelanggang, revolusi sejati bukan sekadar mengganti penguasa, melainkan juga membebaskan cara berpikir dari penjajahan lama: ketakutan terhadap perubahan dan keengganan untuk berpikir mandiri. Dalam arus itulah, Asrul Sani dan kawan-kawan mencoba membangun jembatan antara masa silam dan masa depan, antara iman dan rasio, agar kebudayaan Indonesia tumbuh bukan dari kemarahan, tetapi dari kesadaran yang matang dan merdeka.
Seperti halnya rekan-rekan segenerasinya, Asrul Sani hidup di masa ketika ideologi menjadi semacam agama baru. Ia menulis dengan gairah revolusi, namun di dalam gairah itu tersembunyi kegalauan yang gelisah. Sebab, kebebasan yang dipuja tanpa arah, lambat laun akan berubah menjadi kebingungan. Surat Kepercayaan Gelanggang yang semula mengandung optimisme eksistensial perlahan tampak kehilangan fondasi etisnya, ketika ideologi-ideologi besar mulai menenggelamkan individu. Dari titik itulah pelayaran Asrul Sani terus bergerak, meneruskan pelayaran menuju pelabuhan baru bagi iman yang lebih dalam dari sekadar kebebasan, tak hanya di meja teoritis, melainkan juga di pelataran praksis. Baginya, ini babak baru di pelayaran selanjutnya.
Lesbumi 1962: Layar Kedua Wasatiah Kebudayaan
Lahirnya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950 membuka babak baru dalam sejarah pergulatan kebudayaan Indonesia. Organisasi yang berdiri di bawah naungan rindang Partai Komunis Indonesia (PKI) ini tumbuh dengan cepat, menancapkan akar-akar ideologinya ke dalam tanah sosial yang subur oleh semangat revolusi. Dengan semboyan “politik adalah panglima”, Lekra menempatkan seni dan kebudayaan sebagai alat perjuangan kelas, bukan sebagai ruang ekspresi bebas.
Dalam konteks itulah, Lesbumi tidak hanya lahir sebagai penyeimbang antara iman dan kebebasan kreatif, tetapi juga sebagai respons terhadap kecenderungan antiagama dalam tubuh Lekra. Realisme sosialis yang menguasai wacana kebudayaan waktu itu bukan sekadar menundukkan seni di bawah telapak kaki politik, tetapi juga berupaya menyingkirkan agama dari ruang kebudayaan. Di titik inilah Asrul Sani membaca bahaya yang lebih dalam: hilangnya ruh iman dalam tubuh kebudayaan nasional ketika ideologi mulai menggantikan agama sebagai sumber makna.
Para seniman diarahkan untuk berpihak, untuk menjadikan karya mereka sebagai senjata ideologis melawan penindasan. Dalam waktu relatif singkat, Lekra menjadi kekuatan kultural yang tangguh, tetapi sekaligus menimbulkan ketegangan baru: seni yang seharusnya membebaskan justru mulai dikawal oleh pecut politik yang keras. Di sinilah perdebatan besar tentang hakikat kebudayaan Indonesia kembali berkobar —antara mereka yang melihat seni sebagai alat perjuangan, dan mereka yang melihatnya sebagai nafas kemanusiaan yang otonom.
Dalam situasi seperti itu, Asrul menyadari bahwa kebebasan tanpa akar akan kehilangan arah, sementara iman tanpa keberanian akan membeku menjadi doktrin. Maka, ketika badai ideologi mulai mengguncang perahu kebudayaan Indonesia pada akhir 1950-an, Asrul Sani menurunkan layarnya dari kapal Gelanggang, dan kembali menaikkan layar di kapal yang lain: Lesbumi. Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) berdiri pada 1962 di bawah naungan NU, saat gelombang Lekra dan realisme sosialis tengah menguasai samudra kebudayaan nasional. Di situ, Asrul tidak hadir sebagai mubalig atau politisi, melainkan sebagai navigator: ia memahami bahwa kebebasan yang pernah dipuja di Gelanggang hanya bisa menemukan makna sejatinya bila berakar pada iman. Dan, di tengah gejolak perang ideologi, dia harus turun ke praksis medan pertarungan.
Lesbumi bukan sekadar tandingan ideologis Lekra. Ia adalah usaha untuk mengembalikan ruh pada kebudayaan yang mulai kehilangan jiwanya. Bagi Asrul, seni yang baik bukanlah seni yang tunduk pada doktrin politik, tapi juga bukan seni yang mengambang di langit estetika tanpa komitmen moral. “Menciptakan sesuatu yang bernilai seni dan budaya yang dituntun oleh ajaran Islam,” demikian bunyi salah satu pasal Anggaran Dasar Lesbumi. Dalam spirit Lesbumi, iman bukan lembaga sensor, melainkan sumber nilai. Ia bukan pagar, melainkan mata air yang membuat ekspresi manusia tetap segar dan jernih. Maka Asrul, yang dulu menulis “kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”, kini menulis dengan kesadaran baru, bahwa menjadi ahli waris berarti juga menjaga amanah ilahi dalam sejarah kebudayaan itu sendiri.
Asrul Sani menulis pengalamannya naik haji pada tahun 1963. Ia mengakui bahwa meskipun di masa kecilnya mendapatkan pendidikan agama yang baik, ia bukan orang yang taat beragama. Namun pengalaman naik haji itu, yang semula ia jalani agak setengah hati, menjadi titik balik kesadaran spiritualnya. Dia menulis, “… banyak waktu yang sudah saya habiskan bersama-sama dengan orang-orang yang saya kasihi, tapi belum pernah waktu-waktu itu dapat memberikan kebahagiaan yang begitu lengkap seperti yang saya alami kala [duduk di Hijir Ismail] itu.” Inilah titik terkuat dorongan religiusnya berkiprah di Lesbumi. Pengalaman haji itu membuka kesadarannya bahwa iman tidak hanya dapat dipelajari, melainkan juga harus dialami secara utuh. Sejak saat itu, arah spiritual Asrul menjadi lebih nyata, mengikat antara pengalaman pribadi dan tanggung jawab kebudayaan yang ia emban.
Di dalam Lesbumi, Asrul Sani menemukan bentuk Islam yang sepadan dengan kepribadiannya: Islam yang tidak puritan, tetapi penuh kesadaran estetis; Islam yang tidak menutup diri dari dunia, tapi menimbang dunia dengan kebijaksanaan. Bersama Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dll., ia menegakkan posisi Islam dalam percakapan kebudayaan nasional, tanpa harus menjadi antimodern. Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani adalah trimurti pendiri Lesbumi. Di tangan mereka, Lesbumi tampil sebagai laboratorium wasatiah —keseimbangan antara iman dan kebebasan, antara akidah dan ekspresi, antara tradisi dan pembaruan, antara transendensi dan sejarah.
Sebagai respons terhadap Lekra yang terutama dipandang antiagama, Lesbumi maju ke tengah medan pertarungan membawa spirit Islam yang lantang dan penuh keyakinan. Di sinilah para seniman dan budayawan Muslim menemukan kembali landasan religius mereka, bukan sekadar sebagai panggilan moral pribadi, melainkan juga sebagai tuntutan moral-politik kebudayaan. Bagi mereka, seni yang beriman bukan berarti seni yang dogmatis, melainkan seni yang menegakkan martabat manusia sebagai makhluk religius dan makhluk sosial sekaligus. Lesbumi menegaskan Islam bukan hanya sebagai sumber nilai kreatif, tetapi juga sebagai penegasan kembali keberadaan agama ketika peran agama sedang dinihilkan oleh kekuatan ideologis seperti Lekra.
K.H. Abd. Wahab Hasbullah. K.H. Idham Chalid. K.H. Saifuddin Zuhri. Asrul Sani. Mereka adalah di antara figur-figur yang menjadikan Lesbumi bukan sekadar lembaga tandingan terhadap Lekra, melainkan juga sebagai wadah pencarian bentuk kebudayaan yang utuh —yang menggabungkan kebebasan ekspresi dengan kesadaran ilahiah. Dalam karya dan gagasan mereka, iman tidak mengurung kreativitas, justru menjadi sumber tenaga batin yang memperdalam makna kemerdekaan. Lesbumi hadir bukan untuk memerangi seni dengan dalil agama, melainkan untuk mengingatkan bahwa tanpa dimensi spiritual, kebudayaan mudah kehilangan arah dan jiwanya.
Dalam pada itu, mereka bagaimanapun adalah generasi Angkatan ’45 —generasi yang tumbuh dalam kobaran revolusi dan mewarisi vitalitas hidup yang menyala. Mereka bukan hanya pewaris kemerdekaan politik, tetapi juga pembawa semangat pembaruan kebudayaan yang berpijar di dada para penyair, sutradara, seniman, dan pemikir muda Indonesia. Maka, di bawah pertempuran ideologi politik kebudayaan yang kian sengit melawan Lekra, sementara para kiai NU memompakan roh keislaman dan keimanan dalam Lesbumi, para seniman meniupkan nafas estetika dan vitalitas kreatif. Pertemuan keduanya melahirkan denyut baru: Islam tidak hadir sebagai kekuatan yang membatasi seni, melainkan sebagai sumber energi spiritual yang menyuburkan kebudayaan. Dalam ruang perjumpaan itu, Lesbumi menjadi lebih dari sekadar lembaga. Ia menjadi laboratorium kebudayaan tempat iman dan imajinasi berdialog, di mana zikir dan puisi, doa dan film, azan dan teater, dapat bertemu tanpa saling meniadakan. Dari sana, kebudayaan Indonesia bernafas dengan irama yang lebih manusiawi: tidak lagi tunduk pada ideologi, tetapi juga tidak tercerabut dari iman.
Di luar arena pertarungan politik kebudayaan yang keras dan sering kali bising itu, Lesbumi sebenarnya hadir sebagai ruang eksperimen perjumpaan —perjumpaan yang jarang dibicarakan secara mendalam. Yakni perjumpaan antara tradisionalisme dan modernisme dalam tubuh kebudayaan Islam Indonesia. Ia bukan sekadar wadah tandingan terhadap Lekra, melainkan laboratorium sosial dan spiritual tempat nilai-nilai lama bertemu dengan aspirasi baru. Kesenian memang telah lama hidup di lingkungan NU: dalam irama hadrah dan diba’, dalam syiiran yang menggetarkan, dalam gerak silat yang mengandung filosofi ruhani. Namun seni-seni itu tumbuh di ruang tradisi, bukan di panggung modern yang menuntut bentuk-bentuk ekspresi baru seperti film, teater, dan sastra modern. Melalui Lesbumi, jembatan mulai dibangun —antara langgar dan panggung, antara pesantren dan layar lebar— untuk menunjukkan bahwa iman tidak kaku menghadapi perubahan, dan bahwa tradisi bukanlah beban, melainkan sumber energi kreatif untuk menafsir ulang zaman.
Dari Gelanggang ke Lesbumi, Asrul menempuh perjalanan spiritual yang diam-diam monumental: dari iman kepada manusia menuju iman yang menuntun manusia. Ia tidak meninggalkan modernitas, tapi menempatkannya dalam orbit ketuhanan. Dalam arus deras Lekra yang memuja massa, Asrul Sani harus menjaga pendirian moderasi kebudayaannya: iman yang berpikir, dan akal yang beriman. Di sanalah pelayaran kebudayaan Indonesia menemukan kompasnya. Di tangan Asrul Sani, NU —yang ketika itu merupakan partai politik— bukan lagi penonton di tepi gelanggang perseteruan ideologi politik kebudayaan ini, melainkan juga pelaut yang ikut menavigasi arah zaman. Maka, wasatiah Asrul di Lesbumi tidak berhenti pada sintesis iman dan modernitas, tetapi juga menjadi artikulasi religius yang menegaskan kembali hak agama untuk hadir dalam kebudayaan —tepat ketika Lekra berusaha menyingkirkannya.
Surat Kepercayaan 1966: Layar Ketiga Wasatiah Kebudayaan
Bagi Asrul, ancaman utama bukan hanya subordinasi seni oleh ideologi, melainkan juga —dan terutama— lenyapnya agama dari wacana kebudayaan. Ketika Lekra menempatkan agama sebagai residu masa lampau yang harus ditanggalkan, Asrul justru menegaskan kembali fungsi agama sebagai sumber makna terdalam kebudayaan.
Dari jurusan lain, di tengah arena pertarungan politik kebudayaan yang semakin keras dan menegangkan, muncul Manifes Kebudayaan pada tahun 1963. Dokumen ini lahir sebagai respons intelektual dan ideologis terhadap dominasi Lekra yang kian mencengkeram dunia kesenian Indonesia, dengan pengaruhnya yang menjalar dari panggung teater hingga ruang redaksi surat kabar. Semboyan “politik adalah panglima” telah menjadikan seni sebagai instrumen perjuangan kelas, sehingga ruang kebebasan kreatif semakin menyempit. Para penandatangan Manifes Kebudayaan —dari Wiratmo Soekito hingga H.B. Jassin— berdiri di sisi yang berbeda, menyerukan apa yang kelak disebut humanisme universal. Mereka juga menolak subordinasi seni di bawah telapak kaki ideologi politik. Pertarungan pun tak lagi sekadar intelektual, melainkan eksistensial: soal bagaimana manusia memaknai kebebasan dan tanggung jawab dalam kebudayaan yang sedang mencari jati dirinya.
Perseteruan kian sengit, seakan kebudayaan telah berubah menjadi medan tempur ideologi yang tak mengenal kompromi. Lambat-laun, perbedaan gagasan itu mengeras menjadi polarisasi yang tegas: di satu sisi berdiri Lekra dengan semboyan “politik adalah panglima,” dan di sisi lain kaum Manifestan yang mengibarkan panji “humanisme universal”. Pertentangan itu bukan hanya soal teori seni, tetapi juga tentang pandangan hidup —tentang apakah manusia harus tunduk pada ideologi kolektif atau diberi kebebasan untuk berpikir dan berkreasi secara otonom. Surat kabar, forum, dan panggung kesenian berubah menjadi arena perdebatan terbuka yang sering disertai tudingan dan peminggiran. Dalam suasana yang panas itu, banyak seniman terpaksa memilih kubu, seolah netralitas adalah pengkhianatan.
Namun di tengah badai polarisasi itu, Asrul Sani tetap berlayar dengan arah sendiri —menolak dikurung oleh ideologi mana pun, mencari jalan tengah yang menjunjung kebebasan, iman, dan kemanusiaan sebagai inti kebudayaan. Dia tetap menjaga jarak, memilih jalan wasatiah, tempat seni dan iman dapat berdialog tanpa saling menundukkan. Dan di sinilah terletak arti penting Asrul Sani: menggarisbawahi peran iman dalam kebudayaan. Dalam pandangannya, iman bukanlah penghalang kreativitas, tetapi sumber kedalaman dan keseimbangan batin yang menjaga manusia dari kesombongan intelektual maupun kekosongan spiritual. Ia memahami bahwa kebebasan tanpa iman bisa kehilangan arah, sementara iman tanpa kebebasan bisa membatu menjadi dogma. Karena itu, Asrul memandang kebudayaan sebagai wilayah pertaruhan rohani manusia —tempat akal, rasa, dan keyakinan bersatu dalam pencarian makna yang tak pernah selesai.
Dalam konteks itulah, pada tahun 1966 Asrul Sani menulis Surat Kepercayaan, sebuah refleksi tajam sekaligus respons terhadap ketegangan dua kubu kebudayaan yang terus berseteru: Lekra dan kaum Manifestan. Ia menolak prinsip “seni untuk seni” yang dianggap terlalu individualistis dan menjauh dari tanggung jawab sosial, namun juga menentang semboyan “politik adalah panglima” yang menundukkan seni di bawah ideologi kekuasaan. Surat Kepercayaan 1966 lahir sebagai upaya menemukan jalan ketiga —sebuah keseimbangan baru di tengah kelelahan sejarah akibat tarik-menarik ideologis yang tak kunjung usai.
Di sana, Asrul melihat gejala yang lebih mendasar dari sekadar konflik politik kebudayaan: absennya agama dalam kehidupan intelektual dan kultural bangsa. “Kita melihat kecondongan sekularisasi yang ekstrem dan peremehan agama,” tulis Surat itu, menandai keresahan batin seorang seniman yang menyadari bahwa kebudayaan tanpa dimensi spiritual hanyalah tubuh tanpa jiwa, jasad tanpa roh. Di titik ini Asrul Sani sekali lagi mengibarkan layar dan turun ke geladak kapal intelektualnya. Melalui Surat Kepercayaan, dia mengajak generasinya untuk menengok kembali sumber makna terdalam kebudayaan. Pada hakikatnya, iman adalah fondasi yang memberi arah dan ruh bagi kebebasan manusia.
Lebih jauh, Surat Kepercayaan menegaskan satu pandangan yang sangat khas dalam perjalanan intelektual Asrul Sani, yaitu —dalam kata-katanya sendiri— “Agama sebagai kesatuan yang merupakan pengikat dan memberi bentuk batin kesatuan kebudayaan.” Dalam pernyataan itu, Asrul tidak sedang mengajak seni untuk menjadi alat dakwah, melainkan menempatkan agama sebagai dimensi batin yang menyatukan keragaman ekspresi manusia dalam satu horison makna. Baginya, kebudayaan bukan hanya hasil kerja rasio dan estetika, tetapi juga pancaran ruh yang menuntun manusia untuk memahami dirinya dan dunianya dengan rasa tanggung jawab spiritual.
Karena itu, Surat Kepercayaan ditutup secara eksplisit dengan kutipan ayat Al-Qur’an, Surat Ali Imran (3):112: “Mereka ditimpa kehinaan di mana saja ditemukan, kecuali kalau mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia.” Pilihan ayat ini bukan hiasan simbolik, melainkan pernyataan posisi: bahwa kebudayaan akan kehilangan martabatnya jika tercerabut dari kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Dalam simpul dua tali itu —tali Allah dan tali manusia— Asrul menemukan formula wasatiah kebudayaan: keseimbangan antara transendensi dan sejarah, antara langit nilai dan bumi pengalaman. Ayat tersebut menjadi semacam kesimpulan spiritual dari seluruh pergulatan intelektualnya, semacam kredo bahwa kebudayaan yang sejati hanya mungkin tumbuh di bawah bimbingan iman yang mencerahkan, bukan membelenggu. Ia menegaskan bahwa manusia yang berbudaya tidak hanya mencipta keindahan, tetapi juga menjaga kemuliaan, karena dalam setiap karya yang benar, tersimpan tanggung jawab terhadap Tuhan dan sesama manusia.
Penting dicatat bahwa Surat Kepercayaan 1966 dipublikasikan di majalah Gelanggang, No. 1, Th. 1, Desember 1966 (Djakarta: Jakmi-Lesbumi). Fakta ini mengandung makna simbolik yang dalam: seakan Asrul Sani membawa kembali roh Gelanggang Seniman Merdeka —yang dulu ia dirikan bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin pada 1950— ke dalam rumah baru bernama Lesbumi. Jika Gelanggang 1950 menandai kelahiran kesadaran kebudayaan Indonesia yang merdeka dari dikotomi Barat–Timur, maka Gelanggang 1966, yang diterbitkan Lesbumi, menandai fase kedewasaan spiritual dari kesadaran itu: kesadaran bahwa kemerdekaan sejati mesti berakar pada nilai-nilai iman dan tanggung jawab moral.
Di tangan Asrul, Gelanggang —yang diterbitkan Lesbumi itu— tidak hanya berubah menjadi medium ekspresi seni, melainkan juga menjadi ruang perenungan tentang hubungan antara iman, kebebasan, dan kebudayaan. Publikasi Surat Kepercayaan di majalah Gelanggang memperlihatkan kesinambungan antara dua zaman —antara idealisme seniman merdeka dan cita-cita kebudayaan Islam yang terbuka— yang keduanya diikat oleh satu ruh: jalan wasatiah yang Asrul Sani tempuh dengan tenang dan konsisten di tengah gelombang ekstremisme kebudayaan pada zamannya. Dan itu adalah juga evolusi kesadaran kebudayaan Asrul Sani dalam perjalanan intelektual sepanjang karier kebudayaannya.
Refleksi untuk Hari Ini
Dalam seluruh lintasan hidup intelektualnya, Asrul Sani senantiasa mencari keseimbangan: antara Timur dan Barat, antara tradisi dan modernitas, antara iman dan kebebasan. Ia tidak pernah terjebak dalam titik ekstrem, tidak pula tenggelam dalam arus tunggal zaman. Dengan lensa retrospektif, kita melihat bahwa jalan yang ditempuh Asrul Sani bukan sekadar jalan pribadi, melainkan arah sejarah kebudayaan Indonesia yang mencari kebijaksanaan di tengah riuh ideologi —suatu jalan wasatiah yang tak ia sebutkan, tapi ia jalani dengan penuh kesadaran.
Dari Surat Kepercayaan Gelanggang (1950) yang menggugat feodalisme lama, ke Lesbumi (1962) yang memperjuangkan religiusitas dalam kebudayaan, hingga Surat Kepercayaan (1966) —yang lahir pascatragedi berdarah 1965— yang menyerukan iman sebagai dasar kemanusiaan baru, Asrul Sani menempuh perjalanan panjang menuju sintesis yang khas Indonesia. Dia tidak menolak modernitas, tetapi juga tidak menuhankan rasionalitas; dia tidak menafikan iman, tetapi juga tidak menjadikannya alat kekuasaan. Di sanalah wasatiah Asrul Sani berakar: di titik tengah antara ekstrem ideologi, di pusat gelombang kebudayaan yang terus mencari keseimbangannya sendiri.
Sebagai tokoh Lesbumi —Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia— Asrul Sani menegaskan bahwa kebudayaan bukan sekadar alat perjuangan politik, melainkan ruang pertemuan antara iman dan akal, antara tradisi dan modernisasi. Dia tidak menolak modernitas, tapi juga tidak tunduk padanya. Dia menegosiasikannya dengan elegan: seperti penyair yang menyadari bahwa iman dan kebebasan bukan dua kutub yang harus bertarung, melainkan dua sayap yang membuat kebudayaan bisa terbang. Karena itu, keberadaan Asrul Sani menempatkan NU dalam lanskap sejarah intelektual Indonesia bukan hanya sebagai penjaga tradisi, melainkan juga sebagai penafsir zaman. Melalui dirinya, NU tidak sekadar berdiri di tepi gelanggang, melainkan ikut bertarung dalam inti debat intelektual kebudayaan modern —dan dari sana, menyalakan kembali api kebijaksanaan Islam di jantung modernitas Indonesia.
Sampai di sini, ingatan kita tertumbuk pada sosok K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia adalah figur wasatiah yang paling kentara di ranah agama, politik, maupun kebudayaan. Dalam banyak hal, Gus Dur dapat dibaca sebagai penerus tak langsung dari jalan moderasi kebudayaan Asrul Sani. Bila Asrul datang dari lanskap kebudayaan modern lalu memasuki wilayah tradisionalisme Islam melalui Lesbumi dan NU, maka Gus Dur bergerak dari arah sebaliknya: ia lahir dan dibesarkan dalam tradisi pesantren, tetapi menembus ruang-ruang modernitas kebudayaan Indonesia. Jabatan Gus Dur sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta pada masa Orde Baru bukan sekadar peran administratif, tetapi simbol perjumpaan antara tradisi keislaman dan kosmopolitanisme kebudayaan. Dengan demikian, keduanya memperlihatkan dua arus yang bertemu di satu muara: bahwa kebudayaan tidak harus dipertentangkan dengan agama, dan bahwa moderasi bukan posisi diam di tengah, melainkan keberanian menembus batas-batas yang selama ini dianggap saling menegasikan.
Namun, Asrul Sani adalah juga simbol ironi intelektual dalam sejarah pemikiran kebudayaan Indonesia. Dia berdiri di antara dua dunia yang saling meniadakan —dunia iman yang bersikap sangat hati-hati terhadap kebebasan berpikir, dan dunia intelektual modern yang tak percaya sepenuhnya pada bahasa iman. Demikianlah dalam perkembangan kemudian, Asrul Sani seakan hilang dalam ingatan NU, tempat dulu dia berkiprah melalui Lesbumi. Pada saat yang sama, Lesbumi-NU pun hilang dalam ingatan sejarah intelektual kebudayaan Indonesia modern, padahal kehadirannya begitu nyata dalam hiruk-pikuk kebudayaan tanah air. Dalam konteks ini, kita seakan mengidap amnesia sejarah.
Bagi kita hari ini, absennya Asrul Sani dari ingatan NU, dan absennya Lesbumi-NU dari ingatan sejarah intelektual kebudayaan Indonesia, adalah kehilangan besar —kehilangan yang terasa senyap tapi dalam, seperti sebuah ruang kosong di tengah rumah yang dulu ramai oleh percakapan. Hilangnya Asrul berarti hilangnya jejak upaya paling cerdas untuk menempatkan iman di tengah wacana modernitas tanpa menjadi dogmatis. Hilangnya Lesbumi berarti hilangnya jembatan antara tradisionalisme Islam dan modernisme kebudayaan Indonesia.
Lupa pada Asrul Sani berarti lupa pada salah satu bukti paling cemerlang bahwa NU pernah berkiprah dalam medan kebudayaan modern dengan cara yang sangat visioner. Melalui Lesbumi, ia memperlihatkan bahwa iman dapat berjalan seiring dengan kebebasan, dan bahwa kebudayaan adalah cara bangsa ini berdoa dalam bahasa zaman. Mengingat Asrul Sani hari ini adalah undangan untuk merevitalisasi warisan kebudayaan religiusnya — bukan hanya melalui dakwah, tetapi juga lewat seni dan pemikiran. Dan, mengingat Asrul berarti juga mengingat wajah kebudayaan Indonesia yang paling jernih —tenang, dalam, di tengah gelombang.
Cinangka, 20 Oktober 2025.
*Artikel ini merupakan naskah orasi kebudayaan Jamal D. Rahman dalam acara Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025 yang dilaksanakan di Makara Art Center Universitas Indonesia, Selasa (18/10/2025). Naskah ini diterbitkan bersama lima esai lain dalam buku digital untuk acara tersebut, dan diterbitkan di laman duniasantri.co secara bersambungan. Keenam naskah dalam buku ini adalah “Surat Semaan Puisi: dari Gelanggang ke Adakopi” oleh Mahwi Air Tawar, “Semaan Puisi: Melarikan dari Media Sosial, Kok Malah Ngurusi Mayat Penyair?” oleh Angin Kamajaya, “Asrul Sani: Jalan Wasatiah Kebudayaan Indonesia” oleh Jamal D Rahman, “Lesbumi dan Revitalisasi Seni Budaya Pesantren” oleh Ngatawi Al-Zastrouw, “Kreator Jalan Ketiga yang Terlupakan: Refleksi Identitas Intelektual Asrul Sani” oleh Andy Lesmana, dan “Yang Mengusik Takdir” oleh Mukhlisin Ashar.
