Banyak kalangan merasa was-was menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Sebab, dikhawatirkan penyelenggaraan kontestasi demokrasi itu akan digaduhi dengan fenomena politik identitas, terutama yang berbasis agama, dalam hal ini Islam. Bahkan, banyak yang memprediksi, pengerahan politik identitas pada Pemilu 2024 nanti akan jauh lebih brutal dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di DKI Jakarta pada 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019.
Setidaknya, kekhawatiran itu dapat dibaca dari pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2022 di Gedung DPR-MPR RI di Jakarta. Dalam pidato kenegaraannya, Presiden Joko Widodo meminta kepada segenap bangsa Indonesia untuk menjauhi politik identitas dan politisasi agama dalam menghadapi Pemilu 2024 nanti.
Sebenarnya, seberapa berbahaya politik identitas? Seberapa hebat potensi daya rusaknya terhadap negara demokrasi? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat bergantung pada bagaimana politik identitas dioperasikan.
Sesungguhnya, politik identitas bukan tabu dalam alam demokrasi. Sebab, ia menjadi “anak haram” dari sistem demokrasi itu sendiri. Dalam sejarahnya, ia lahir dari ketaksempurnaan sistem demokrasi itu.
Dari kajian filsuf kontemporer, Francis Fukuyama (Identity: 2018), kita tahu bahwa sesungguhnya perkara identitas baru menjadi persoalan ketika manusia hidup dalam alam modern dengan tatanan sosial yang semakin kompleks.
Di zaman pramodern, ketika manusia masih hidup dalam komunalisme, perkara identitas tak pernah menjadi persoalan. Ketika orang-orang masih hidup dalam komunitas sendiri, misalnya dengan ras, etnis, bahasa, dan keyakinan yang sama, maka identitas orang per orang atau kelompok tak pernah menjadi persoalan.
Namun, di zaman modern dengan struktur sosial yang semakin kompleks, ketika orang-orang harus hidup di suatu teritori bersama atau bersisihan dengan orang-orang yang berbeda ras, etnis, suku, tradisi, bahasa, dan keyakinan yang berbeda-beda, maka perihal identitas mulai menjadi persoalan yang serius. Pertanyaan “siapa aku” atau “siapa mereka” di tengah keasingan menjadi pembuka persoalan identitas manusia.
Sistem demokrasi hadir salah satunya sebenarnya untuk mengakomodasi dan merangkum perbedaan-perbedaan identitas itu. Semua memperoleh tempat yang sama. Semua memperoleh hak yang sama. Namun, dalam praktiknya, oleh berbagai problematikanya, ada kelompok-kelompok masyarakat yang “terbedakan” atau terabaikan, yang tak memperoleh tempat selayaknya, yang tak memperoleh hak-hak semestinya.