Langit begitu gelap. Matahari tak muncul sejak pagi. Ditelan mega hitam. Barangkali sudah maghrib. Sepertinya tadi aku mendengar suara azan dari kejauhan melewati kisi pintu. Di luar, hujan masih mengamuk. Seperti tak hendak berhenti. Sesekali langit terang setelah dikoyak petir. Lalu disusul dengan suara guntur yang menggelegar di gendang telinga. Gorden jendela di kamarku meronta-ronta seperti kesurupan karena diterpa angin. Pohon kelapa di samping rumah bergoyang keras membentur satu sama lain. Suasana diperkeruh dengan mati lampu, membuat malam semakin mencekam.
“Fan! Cepat keluar, jangan hanya dikamar. Anginnya sangat kencang,” panggil ibu dari luar. Buru-buru aku meraba-raba kasur, mencari ponselku sebagai penerang. Setelah kutemukan, segera aku ke ruang depan untuk berkumpul bersama ibu.
Ibu mondar-mandir di depan meja seperti setrikaan. Sedari tadi aku perhatikan tasbih di tangannya tak pernah berhenti berputar. “Kenapa bapakmu belum pulang juga, padahal ini sudah malam,” gumam ibu. Dari raut wajahnya, aku bisa melihat kecemasan dalam diri ibu. Kecemasan yang tak biasanya.
“Mungkin terjebak hujan, Bu. Tenanglah, tak usah cemas,” jawabku menghibur, walau bagaimanapun sebenarnya aku juga cemas. Ibu hanya diam. Tak menanggapi. Namun mulutnya tak henti komat-kamit. Sepenuhnya dia membaca istighfar atau semacamnya.
“Semoga tidak terjadi apa-apa dengan bapak, semoga hujan ini tidak membawa bencana,” gumam ibu.
Ah! Gumaman ibu membuat bulu kudukku berdiri. Aku tiba-tiba membayangkan, bagaimana jika terjadi banjir, atau longsor. Rumahku berada di atas bukit. Aku teringat dengan pelajaran ibu guru kemarin. Katanya tanah longsor disebabkan bukit yang gundul. Ketika diguyur hujan, tanah akan amblas karena tidak ada akar pohon yang menjaganya. Aku langsung memikirkan rumahku yang berada di atas bukit. Kebetulan jurang di depan rumah agak curam dan tidak ada pohon sama sekali. Aku baru menanaminya kemarin sepulang sekolah, tentu saja tidak akan berguna untuk saat ini.
Lalu terdengar suara barang terjatuh di belakang rumah, membuat kami terkejut. Ibu menyuruhku untuk segera memeriksa, gerangan benda apa yang jatuh, atau barangkali bapak sudah pulang. Dengan berbekal cahaya lampu LED dari ponsel, aku segera memeriksa belakang rumah.
Di luar keadaan gelap gulita. Cahaya LED dari ponsel tak cukup untuk memberikan pencahayaan. Tapi apa boleh buat, lakukan saja. Aku memeriksa ke gudang tempat bapak menyimpan perkakas. Semuanya masih seperti sedia kala. Aku mencoba mengarahkan cahaya LED ponselku ke berbagai penjuru, tetap saja tak ada barang yang jatuh. Padahal aku yakin suara yang keras tadi pasti berasal dari sekitar sini.
Aku keluar dari gudang untuk melapor kepada ibu. Tiba-tiba aku merasakan sekelebat bayangan melintas di balik pintu. Bulu kudukku langsung berdiri. Hantukah? pikirku. Ah, mana pula ada hantu zaman sekarang. Lagi pula kenapa aku harus percaya hal semacam itu. Bukankah sekarang sudah bukan zamannya lagi. Kolot juga diriku.
Aku berdiri di ambang pintu untuk memastikan. Mataku memburu setiap sudut. Cahaya LED dari ponsel kuarahkan mengekori arah mataku. Mataku menangkap sesosok manusia berpakaian serba putih berdiri di bawah pohon kersen lurus dengan pintu gudang. “Siapa di sana?” sapaku. “Mari berteduh, jangan berdiri disana,” sambungku.
Namun bukan menjawab. Orang itu malah menyingkir menjauh. “Hai, siapa itu?” tanyaku ulang. Tubuhku mulai gemetar, jantungku berburu, sampai suaranya begitu gamblang di telinga.
Aku mulai curiga dengan orang itu. Belakangan ini memang kerap terjadi pencurian di rumah warga. Mulai dari perabotan sampai perhiasan. Jangan-jangan dia ingin maling di rumahku. Huh, dasar. Tidak bisa dibiarkan.
“Aku tidak ada urusan denganmu. Orang yang aku cari rupanya tidak ada di sini,” ucapnya dengan suara yang sedikit berat. Aku tersentak mendengar suara itu. Entah kenapa, mendengar suaranya aku seperti membeku. Aku tidak bisa merasakan kedua tanganku. Hawa dingin tiba-tiba memenuhi sekujur tubuhku. Apa ini yang juga dirasakan tetanggaku waktu bertemu dengan maling? Pantas saja mereka tidak pernah tertangkap.
Aku ingin menginterogasinya, namun dasar kerongkunganku tidak bersahabat. Suaraku seperti menggumpal di tenggorkan dan tak hendak keluar. Orang itu hendak berlalu. “Hei! Mau ke mana, dasar maling, jangan kabur!” Ah, lagi-lagi kerongkonganku tidak bisa diajak kompromi. Entah sejak kapan kerongkongan ini mulai menghianatiku.
Akhirnya aku hanya bisa menyaksikan ia pergi. Mataku hanya bisa mengikhlaskan punggungnya yang habis di telan gelap. Dari balik gelap aku mendengar suara, “Idza ja’a ajaluhum fa la yasta’khiruna sa’atan wala yastaqdimun.” Aku tertegun mendengarnya. Apa yang kamu maksud? Apa maumu? Ah, dasar tenggorokanku tidak bersahabat. Suaraku seperti tercekal di tenggorokan.
***
Pelan-pelan aku membuka mata. Secercah cahaya lilin masuk ke retina mataku. Agak sedikit mengganggu. Aku mulai bisa menangkap cahaya di sekeliling. Samar-samar aku melihat wajah ibu yang kekuningan karena cahaya lilin. Ibu sepertinya masih tidur di sampingku. Sedetik kemudian mata ibu yang bergerak, tanda dia akan bangun. Pelan-pelan matanya mulai terbuka. Tatapannya langsung mengarah kepadaku. Dia tersenyum penuh arti.
“Syukurlah kamu sudah bangun,” kata ibu. “Kamu melihat apa tadi di belakang, kok sampai pingsan?” sambungnya. Aku hanya diam, mungkin karena malas atau tidak ingat, entahlah. Aku juga sudah lupa saat itu. Aku lebih memilih untuk mengumpulkan kesadaranku yang masih tercerai berai.
“Ayah belum kembali?” tanyaku pada ibu.
“Belum, dan hujan belum juga reda,” jawabnya.
“Sekarang sudah pukul berapa, Bu?” tanyaku.
“Entahlah, ibu juga tidak tahu. Coba kamu periksa di HP kamu!” perintahnya. Aku melihat jam di ponselku, di sana menunjukkan jam 17:00. “Ah, sepertinya aku hanya pingsan sebentar.”
“Bagaimana bisa kamu pingsan sebentar, ibu sudah menungguimu agak lama,” kata ibu.
“Masak?” tanyaku.
Aku mencoba melihat kalender. Rupanya kalender menunjukkan tanggal 17. Hah, tanggal 17 bagaimana bisa? Bukankah tadi masih tanggal 10? Kami terperanjat melihat tanggal yang terpampang di layar ponsel. “Bagaimana bisa? Kamu pingsan satu minggu?” tanya ibu.
“Berarti hujan ini sudah seminggu?” tanyaku balik kepada ibu dari saking kagetnya.
Aku segera mengahambur keluar untuk melihat keadaan. Ibu juga menyusul dari belakang. Langit masih saja gelap, hujan masih tetap mengguyur dengan anginnya yang semakin menjadi-jadi. Gemuruh guntur masih terdengar. Sesekali kilatan petir seperti hendak merobek langit.
Air rupanya sudah memenuhi halaman rumah kami. Hanya tinggal menunggu beberapa jam lagi rumah kami mungkin akan sukses di taklukannya. Aku melihat sekeliling, semuanya datar dengan air. Tak ada satupun rumah warga yang terlihat, semuanya sudah rata dengan air. Ah, bagaimana mungkin? Aku segera kembali memeriksa ponselku. Sial, aku hanya memperhatikan tanggal, lupa tak melihat bulan. Sekarang bulan Juni, persaan waktu itu seharusnya masih bulan Mei. Kakiku lunglai begitu saja. Aku tidak memiliki tenaga untuk menopang tubuhku.
“Alfan!” Ibu berteriak panik dan dengan refleks segera menangkapku yang hampir jatuh kelantai.
“Bukan sehari semalam, Bu, tapi satu bulan. Satu bulan,” ucapku pada ibu terbata-bata. Ibu hanya mengernyitkan dahi tak paham apa maksudku. Aku segera mengulanginya lagi dengan lebih jelas. “Hujan ini, sudah sebulan, sekarang bulan Juni,” terangku.
“Astaghfirullah!” ucap ibu.
Pegangan ibu mulai melemah, membuat kami berdua jatuh ke lantai bersamaan. Tangan ibu dingin. Kami sama-sama membisu, entah mungkin karena sama-sama tidak percaya atau dari saking paniknya, aku juga tidak tahu.
Kebisuan kami dipecahkan dengan kilatan cahaya putih yang datang dari lagit yang menyambar muka kami. Aku melihat sesosok lelaki sedang berdiri dengan jubahnya yang serba putih, matanya berwarna merah menyala seperti api yang hendak membakar habis tubuhku. Belum sempat aku bergerak, orang itu sudah menyambar ke arah ibu, kemudian mengangkatnya beberapa depa dari tanah. Ibu hanya diam tak berkutik. Tubuhnya seperti kaku begitu saja. Aku juga demikian, kakiku seperti terbenam dalam es.
Entah berapa lama, aku masih tetap berada dalam kekakuan. Bibirku menjadi kelu, suaraku seperti tertahan di tenggorokan. “Sekarang tiba giliranmu!” ucap orang itu pada ibu. Aku berusaha menekan suaraku agar mau keluar dari tenggorokan.
“Kamu siapa?” Ah, sungguh begitu senangnya, akhirnya suaraku keluar juga dari tenggorokan. Orang itu hanya menyeringai melihatku. Ah seringainya yang rajam penuh dengan ejekan itu membuatku merinding.
“Akulah yang akan menjadikan istrimu janda, menjadikan anakmu yatim, menjadikan hartamu waris,” ucap orang itu kemudian disusul dengan tawanya yang membahana memenuhi langit.
Suaranya seperti sedang mencaciku. Aku seperti dihujam benda sedemikian beratnya. Sampai-sampai aku tenggelam. Tubuhku seperti bertambah berat beberapa ratus kilogram. Suara itu juga sukses membuatku semakin ciut. Aku merasakan tubuhku yang semakin menyusut seperti seukuran semut. Aku ingat, rasa ini juga yang aku rasakan tempo lalu. Dan orang ini pula yang aku temui waktu itu.
Tak salah, dia adalah orang yang kemarin. Dia juga yang akan memisahkanku dari segala-galanya. Siapa dia? Siapa yang bisa melakukan itu selain Azrail. Ya, dia Azrail, sang musuh bagi makhluk-makhluk yang bernyawa. Dia tak pernah puas, dia selalu siap merenggut kehidupan dari mana saja. Tiba-tiba aku merasakan napasku di ujung tenggorokan. Rongga dadaku seperti tak hendak menarik udara dari luar lagi. Hidungku seperti malas untuk menghirup udara yang manis di sekitarku.
Azrail tertawa menggelagar, dari mulutnya keluar kilatan petir merobek langit yang gelap. Dia menatapku dengan penuh keangkuhan. “Dasar munafik!” bentaknya.
Seluruh sendiku seakan tercerai-berai begitu saja. Seluruh tubuhku membeku. Jantungku seakan berhenti mempompa darah ke setiap rongga tubuhku. “Kau takut pada kematian atau kau takut untuk meninggalkan dunia ini? Kau takut meninggalkan kekasihmu, kau takut meninggalkan hartamu, kau takut kehilangan keluargamu dan teman-temanmu,” tudingnya kepadaku.
“Aku takut pada kematian,” jawabku sepontan.
Entah karena apa aku berani menjawab pertanyaannya. Dia kembali tertawa dengan suaranya yang semakin menggelegar. Tanah di kakiku bergetar, langit kembali dirobek oleh kilatan petir yang menggila. “Kamu takut mati, sebab di pikiranmu masih ada dunia, masih ada kekasih, masih ada keluarga dan teman-temanmu? Dasar munafik!” bentaknya kepadaku.
Aku bisa merasakan getaran yang dahsyat dari bawah tanah. Aku seperti hancur berkeping-keping bersama dengan gelegar suaranya yang menghilang membawa ibuku ke tempat yang entah aku tak tahu.