Banyak jalan menjadi seorang wali. Salah satunya melalui jalan ta’lim wa ta’allum, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan ulama. Di Indonesia, ada Syaikhona Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari. Mereka menggunakan cara itu, yaitu ta’allum (belajar) dan ta’lim (mengajar). Keduanya tidak diragukan lagi dalam proses mencari ilmu, mengarungi lautan hingga menapaki pasir yang menyengat, menahan dahaga, dan kerinduan akan keluarga. Setelah menempuh perjalanan panjang dalam mencari ilmu, mulailah fase mengajar. Pada fase ini, ilmu-ilmu yang telah diperoleh akan mereka sampaikan dengan niat seratus persen ikhlas karena Allah.
Di suatu kesempatan, Gus Kautsar pernah mengatakan bahwa thoriqoh ini, jalan ini, —berdasarkan mukasyafah dari para ulama terdahulu— adalah cara paling cepat dan paling efektif untuk menjadi waliyullah.
Jalan lain adalah birrul walidayn, berbakti kepada orang tua, seperti yang dilakukan oleh seorang pemuda Yaman yang tinggal di sebuah rumah sederhana bersama ibunya yang sudah tua renta. Meskipun hidup di zaman Rasulullah, pemuda itu tak pernah sedikitpun melihat wajah Nabi. Apa sebab? Karena ia sibuk merawat ibunya dan tak tega meninggalkannya sendirian. Namun Allah yang Maha Tahu menceritakan hal tersebut kepada Nabi, hingga beliau berpesan kepada sahabatnya, jika mereka bertemu dengan pemuda bernama Uwais, maka mintalah doa kepadanya. Uwais terkenal sebagai orang yang sangat rendah hati dan sederhana, terbukti dari sifatnya yang tidak mau dikenal oleh orang banyak.
Auliya dan ulama adalah manusia yang mendapatkan kedudukan istimewa di sisi Allah. Mereka diberikan kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Juga diberikan kesempatan untuk memberikan syafaat kepada manusia yang lain, seperti disebutkan dalam hadis ini.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يشفع يوم القيامة ثلاثة: الأنبياء ثم العلماء ثم الشهداء.”
Artinya: Rasulullah SAW bersabda, “Pada hari kiamat, tiga golongan akan memberikan syafaat: para nabi, kemudian para ulama, kemudian para syuhada.” (HR. Ibnu Majah)