Hujan baru saja reda tepat jam sepuluh malam, menyisakan rinai gerimis yang membuat kelam terasa mencekam. Jum melangkah tergesa menelusuri jalan desa yang disinari lampu redup dari rumah penduduk. Rasa takut akan kelam malam dia enyahkan, rinai gerimis yang sudah membasahi rambut dan bajunya pun tak dia pedulikan. Tujuannya hanya satu, Jal harus diselamatkan.
Jal sakit, badannya demam tinggi. Tak ada pilihan lain bagi Jum selain harus membawa anak semata wayangnya itu ke klinik. Tapi Jum sedang tidak ada uang. Begitu juga Mak Roh, setali tiga uang. Ibu dan anak itu tak bisa berbuat banyak diimpit dalam kebingungan. Tapi untung saja Mak Cik, tetangganya, datang untuk memberikan singkong rebus. Dialah yang menyarankan Jum agar meminta bantuan Pak Barus, orang terkaya di desa yang seorang anggota dewan.
“Pergilah ke rumah dia, pasti beliau mau bantu. Si Rusmin yang jadi kadernya itu suka nunjukin vidio Pak Barus lagi bagi-bagi sembako, uang, sampai menyantuni anak yatim, Dermawan sekali beliau itu, tidak salah Mak memilihnya!”
Jum langsung mengikuti saran Mak Cik. Dia pun bergegas pergi menuju rumah Pak Barus yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya. Tapi baginya, jarak sebegitu sudah biasa dia tempuh. Toh, setiap hari dia keliling desa untuk menjajakan kue yang dia buat bareng Mak Roh dan juga kue-kue titipan tetangga.
Sesampai di depan rumah Pak Barus dia tertegun sejenak. Diaturnya napas dan berdoa memohon agar usahanya berhasil. Lalu dia melangkah mendekati pagar besi yang tinggi. Belum juga mengucap salam, Pak Satpam sudah menegurnya dengan suara keras.
“Hei Jum, ada apa malam-malam begini ke sini!”
“Anu Pak, saya mau ketemu Pak Barus!”
“Untuk apa? Sudah janji!”
“Saya mau pinjam uang pak, buat berobat dan sewa angkutan. Anak saya sakit mau dibawa ke klinik!”
“Ngomong saja mau minta sumbangan! Tapi dulu kamu nyoblos Pak Barus nggak nih!”