Berlomba dalam Kebisingan

Sejak dulu, manusia selalu punya kecenderungan untuk ikut berbicara tentang sesuatu yang ramai diperbincangkan. Semakin banyak orang membicarakan satu hal, semakin besar pula dorongan untuk ikut menanggapi, meskipun sering kali tanpa benar-benar memahami duduk perkaranya. Mungkin ini bagian dari naluri sosial: keinginan untuk tidak tertinggal, untuk terlihat tahu, atau sekadar agar suaranya dianggap ada.

Dulu, ruang bagi komentar semacam ini terbatas. Ia berhenti di warung kopi, di beranda rumah, atau di sela obrolan selepas salat berjamaah. Namun kini, dengan kehadiran media sosial, batas itu hilang. Satu kalimat bisa tersebar ke seluruh penjuru dunia hanya dengan satu klik. Setiap orang kini bisa menjadi “ahli”, bisa menasihati, mengomentari, bahkan menghakimi, meski tidak memiliki pengetahuan yang cukup.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Masalahnya muncul ketika komentar-komentar tanpa dasar itu bertemu dengan ruang publik yang juga bising. Orang yang tidak tahu berbicara seolah tahu, dan yang sama tidak tahunya ikut menanggapi. Lalu lahirlah debat panjang tanpa arah, perbincangan tanpa substansi, dan keyakinan yang dibangun di atas kesalahpahaman. Di dunia digital, kebodohan tidak lagi diam di tempat; ia berkelana, diperkuat oleh algoritma, disebarkan ulang oleh orang-orang yang sama tidak mengerti.

Dalam suasana seperti itu, kebenaran sering kehilangan bentuknya. Bukan karena tidak ada yang tahu mana yang benar, tetapi karena yang paling keras bersuara sering kali dianggap paling benar. Padahal, keberanian untuk berbicara tidak selalu sejalan dengan kedalaman pengetahuan. Ada orang yang diam karena bijak, dan ada pula yang ramai karena tak paham batas.

Kita sering lupa bahwa tidak semua hal perlu dikomentari. Tidak setiap isu butuh opini kita. Ada hal-hal yang lebih baik dipahami terlebih dahulu sebelum diberi penilaian. Tetapi, media sosial seolah mengajarkan kita hal sebaliknya: siapa yang paling cepat berbicara, dialah yang paling didengar. Akibatnya, orang berlomba menjadi yang pertama, bukan yang paling tepat.

Fenomena ini perlahan membentuk kebiasaan baru: merasa tahu tanpa belajar. Seseorang membaca satu potongan berita, lalu menganggap dirinya paham seluruh persoalan. Ia menulis panjang di kolom komentar, mematahkan argumen orang lain, dan merasa sedang berjuang untuk kebenaran. Padahal, yang dibela bukan kebenaran, melainkan ego.

Masyarakat modern sering mengagungkan keterbukaan, seolah semua orang berhak berbicara tentang apa pun. Padahal, hak berbicara tidak sama dengan kemampuan untuk memahami. Boleh saja semua orang punya suara, tapi tidak semua suara seharusnya dijadikan rujukan. Di sinilah pentingnya kesadaran batas: menyadari bahwa kadang diam bukan tanda kalah, melainkan tanda tahu diri.

Kita butuh ruang untuk menahan diri. Untuk belajar dulu sebelum menilai, mendengar dulu sebelum berkomentar. Dunia yang terlalu bising tidak akan melahirkan pemahaman, melainkan kebingungan. Orang yang terus berbicara tanpa dasar akan menutupi suara mereka yang benar-benar mengerti.

Pada akhirnya, yang paling bijak bukanlah mereka yang selalu punya pendapat, tapi mereka yang tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh opini ini, mungkin bentuk kecerdasan tertinggi bukanlah kemampuan berdebat, melainkan kemampuan menahan diri. Sebab antara ilmu dan asumsi, sering kali jaraknya hanya satu hal: kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita belum tentu tahu segalanya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan