Ketika film Bidaah dari Malaysia ramai diperbincangkan di Indonesia, reaksi penonton ibarat api yang menyulut debu. Ada yang geram, ada yang jijik, tapi tak sedikit yang diam-diam mengangguk, merasa film itu seperti tamparan yang lama ditunggu.
Kisah sekte sesat dengan pemimpin karismatik yang manipulatif itu dianggap terlalu vulgar, bahkan “melukasi perasaan”. Tapi di saat yang sama, di dunia nyata, sosok-sosok mirip Walid Muhammad—antagonis dalam film—justru dikelilingi pengikut fanatik yang memuja setiap ucapannya.

Di sinilah paradoks itu muncul: mengapa kita marah pada cermin yang menunjukkan noda, tapi membiarkan bayangan kita sendiri tetap kotor?
Film seperti Bidaah memang dirancang untuk tak nyaman. Ia mengangkat praktik pernikahan paksa, eksploitasi finansial, hingga ritual menyimpang yang dibungkus dalil agama—adegan-adegan yang sengaja disajikan tanpa tedeng aling-aling. Tapi justru ketidaknyamanan itulah yang membuatnya relevan.
Di luar layar, praktik serupa sering kali terselubung narasi “ketaatan”, “berkah”, atau “pengabdian”, sehingga masyarakat menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Seorang pemimpin sekte di film dianggap jahat karena karakternya transparan, sementara di kehidupan nyata, oknum serupa bisa bersembunyi di balik gelar “habib” atau “kiai”, dilindungi oleh aura spiritual yang sengaja dibangun.
Sensitivitas agama dan budaya menjadi tameng utama penolakan terhadap film semacam ini. Ketika Bidaah menunjukkan ritual minum air bekas kaki pemimpin sekte, banyak yang berteriak “menista agama”. Tapi di sudut lain negeri, fenomena serupa—seperti pengikut yang rela mencium tangan atau kaki tokoh agama—dianggap sebagai bentuk penghormatan. Di sini, batas antara “ketaatan” dan “kultus individu” begitu kabur.
Contoh lain yang tak kalah miris: seorang ibu di film yang memaksa anaknya masuk sekte dianggap “jahat”, sementara di dunia nyata, orang tua yang menikahkan anak di bawah umur dengan dalil “perintah agama” dianggap “berhak”. Kedua kasus ini sama-sama melibatkan paksaan, tetapi respons masyarakat berbeda karena yang satu dibungkus norma, sementara yang lain diekspos secara gamblang.
Ketegangan ini bukan sekadar soal agama, melainkan juga tentang literasi media. Adegan seperti “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid” yang viral di TikTok bukan sekadar meme. Ia adalah bukti bahwa pesan film itu menyentuh luka yang selama ini ditutupi. Sayangnya, banyak penonton terjebak pada reaksi emosional—menghakimi film sebagai penghinaan—alih-alih melihatnya sebagai metafora. Padahal, ritual serupa di dunia nyata, seperti doktrin buta pada pemimpin agama, terjadi setiap hari tanpa disadari.
Akar masalahnya mungkin terletak pada cara kita memandang kritik. Bagi sebagian orang, film seperti Bidaah dianggap sebagai ancaman karena ia mengganggu zona nyaman—tempat di mana ketidakadilan sudah dinormalisasi. Kita lebih mudah marah pada simbol (film) daripada substansi (masalah nyata) karena simbol bisa dibakar, sementara substansi memaksa kita untuk berubah. Tokoh agama kontroversial dilindungi karena mereka bagian dari sistem yang sudah mapan, sementara film dianggap sebagai “orang asing” yang tak paham adat.
Tapi justru di situlah peran film: menjadi alarm yang menggedor kesadaran. Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, berhenti melihat kritik sebagai serangan. Kedua, gunakan ketidaknyamanan yang ditimbulkan film sebagai pemicu refleksi. Misalnya, jika adegan ritual menyimpang dalam Bidaah membuat kita gemetar, mengapa kita diam saat melihat pengikut sekte di kehidupan nyata dijauhkan dari keluarga? Jika karakter Walid dianggap terlalu kejam, mengapa kita tak sekeras itu menyikapi oknum yang menjual surga demi keuntungan pribadi?
Pada akhirnya, Bidaah bukan sekadar film tentang sekte sesat. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah kita sendiri—masyarakat yang mudah menghakimi fiksi, tetapi gagal melihat ironi dalam realita.
Mari mulai percakapan dari hal kecil: diskusikan film ini di lingkaran terdekat, tanyakan pendapat teman tentang adegan kontroversialnya, dan telusuri apa yang membuat mereka tidak nyaman. Sebab, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Kebenaran harus disampaikan, meski langit akan runtuh.” Dan mungkin, langit yang dimaksud adalah ego kita sendiri—yang perlu runtuh agar cahaya kesadaran bisa masuk.