Mungkin di antara kita pernah membaca atau mendengar kisah Bima yang menemukan Dewi Ruci di dalam samudra terdalam di dalam jiwanya. Jika pernah, maka kisah yang akan saya ceritakan di sini erat kaitannya dengan hal itu.
Memang tidak mudah menyebarkan agama di tanah Jawa. Bahkan penyebaran Islam di Nusantara juga banyak memakan korban jiwa serta mendatangkan ratusan bahkan ribuan para pemuka agama dari penjuru dunia. Namun tetap saja hasilnya tidak maksimal. Hingga akhirnya datanglah pemuka agama gelombang kedua, yang disebut Wali Songo, yang sukses menyebarkan Islam di Nusantara.
Jika ada yang berpendapat bahwasan penyebaran agama oleh Wali Songo bersifat adaptif, memang benar. Namun, jika ada yang menyebut bahwa Wali Songo hanya berasal dari satu madzab keislaman, salah. Para wali yang datang untuk menyebarkan agama Islam bukan hanya dari satu golongan. Ada yang berlatarbelakang Syi’ah, ada yang sangat teguh dalam Alhusunnah. Dan masih banyak latar belakang yang berbeda.
Salah satu wali Allah yang menyebarkan agama Islam dengan sangat apik adalah Kanjeng Sunan Kalijaga. Raden Sahid ini terbilang lihai dalam membuka jalur kompromi sehingga Islam bisa menyebar dengan sangat cepat. Karena caranya yang adaptif, tentu saja Kanjeng Sunan memperhatikan latar belakang masyarakat Nusantara yang beragama Hindu-Budha.
Kisah Dewi Ruci dan Bima adalah cerita dari tradisi Hindu. Namun, apakah Kanjeng Sunan Kalijaga menghapus cerita tersebut? Tentu saja tidak. Dalam sebuah pertunjukan wayang yang beliau sendiri menjadi dalangnya, Kanjeng Sunan berdakwah kepada murid-muridnya dengan mengikuti alur cerita Dewi Ruci. Saat itu, para murid diberi tahu bahwa tokoh ruhani Dewi Ruci itu sejatinya adalah Nabi Khidir yang akan dijumpai dalam perjalanan ruhani para murid. Kanjeng Sunan Kalijaga dapat mengatakan hal demikian karena yang beliau katakan adalah hasil dari pengalaman personal.
Dalam naskah Suluk Linglung Pupuh IV Dhandhanggula, dijelaskan bagaimana Nabi Khidir memangkas keraguannya untuk memasuki tubuh Sang Nabi yang berisi alam raya. Syaikh Malaya (Sunan Kalijaga) pun ketakutan melihatnya.
Dalam bait-bait Suluk Linglung, Nabi Khidir menjelaskan bahwa ada empat cahaya dalam manusia: hitam, merah, kuning, dan putih. Cahaya hitam bermakna mudah marah, mudah sakit hati. Cahaya merah bermakna pancaran nafsu tidak baik, sumber segala hasrat emosi. Cahaya kuning bermakna potensi menghalangi keinginan dan pikiran baik, membawa ke jurang kebinasaan. Dan, cahaya putih adalah cahaya yang menenangkan, suci, dan damai.
Dalam laku tasawuf, cahaya-cahaya tersebut didefinisikan sebagai macam-macam nafsu. Cahaya hitam berarti nafsu lawwamah, merah berarti nafsu amarah, kuning berarti nafsu sufliyah, dan putih berarti nafsu muthmainnah.
Tidak berhenti sampai di situ, Sunan Kalijaga menjelaskan dalam Suluk Linglung bahwasannya puncak perjalanan ruhani itu digambarkan saat keempat cahaya itu melebur dan hilang, dan digantikan oleh satu nyala cahaya dengan delapan warna. Itulah hakikatnya mikrokosmos diri manusia di dalam makrokosmos alam semesta.
Suluk Linglung menceritakan bahwasan perjalanan ruhani sangatlah berat. Dan karena beratnya, maka Sunan Kalijaga memberi pengertian bahwa dalam Islam ada konsep yang serupa dengan cerita Dewi Ruci. Dan tidak harus seorang yang kuat yang bisa menemukan itu. Siapa saja bisa melakukan perjalanan ruhani.
Pendekatan spiritual kepada masyarakat Jawa pada saat itu memang sungguh sangat cerdas. Oleh sebab, itu sosok Sunan Kalijaga menjadi primadona bagi masyarakat Jawa karena memiliki jiwa kompromi dan memiliki sifat yang bisa menampung segala keberagaman. Di luar dari itu semua, tentu kita juga memahami bahwaan semua strategi penyebaran agama Islam ini tidak datang dengan sendirinya. Sunan Kalijaga dapat meramu strategi tersebut karena memang beliau berasal dari latar belakang dan pengalaman yang sangat mendukung. Kehidupannya dicurahkan kepada rakyat kecil. Pendekatan yang dilakukan adalah secara personal dan kemanusiaan. Pantas saja jika Sunan Kalijaga saat berdakwah mendapat perhatian yang menyejukkan. Sunan Kalijaga bukanlah sosok dai asli Nusantara saja. Beliau adalah ahli pemerintahan, ahli budaya, dan segala komponen dalam kehidupan menjadi perhatian Sang Sunan.
Laku tasawuf yang mudah diterima oleh masyarakat Jawa pun sebagian besar bersumber kepada Sang Sunan. Karena kepiawaian beliaulah penduduk-penduduk desa hingga saat ini masih menerima ajaran Islam dengan pendekatan yang sangat tradisional. Semua itu bukanlah ke sia-siaan. Islam menyebar hingga ke pelosok Nusantara yang masih susah dijangkau memang salah satunya karena pendekatan kultural dari Sang Sunan.