Bukan Ngopi Biasa

53 views

Dari jendela jerambah kulihat si khotib tengah membacakan teks khotbah dengan khusyuk. Janggutnya yang memutih bergerak ritmis penuh kharismatis. Suara seraknya sedikit tersendat tatkala mengeja bacaan yang luput dari indera penglihatan. Sesekali batuk menghentikan khotbahnya, membuat jemaah resah menunggu kelanjutan nasihatnya.

Sementara muridku terus berbicara, usik dan usil dengan teman-temannya. Jika kuminta diam, anak di sudut lain ganti yang ramai. Begitu seterusnya sepanjang jalannya khotbah. Kuat-kuat kupendam kesal. Betapapun malasnya aku bergulat dengan emosi, menghardik ke sana dan ke sini, tapi aku tetap mencoba bertahan daripada kena semprot warga yang tak senang dengan kehadiran muridku di masjid ini. Warga di sini mengenal murid-muridku sebagai pembawa kegaduhan tiap kali jumatan.Dan sayangnya anggapan itu memang benar.

Advertisements

Selepas mondok sekitar setahun yang lalu aku diminta mengajar di sebuah madrasah tsanawiyah swasta, tidak jauh dari kampung tempat aku tinggal. Program salat Jumat adalah salah satu yang diunggulkan di madrasah kami. Seiring dengan terkikisnya moral anak-anak, program sekolah yang berbasis keagamaan cukup diminati wali murid karena dianggap bisa menanggulangi rusaknya akhlak tersebut.

Sebenarnya kami hanya numpang tempat di masjid kampung ini. Walau terkesan pencitraan, program ini menurutku masih lebih baik daripada membiarkan peserta didik pulang sebelum jumatan. Sebab, biasanya mereka tak salat Jumat. Kesadaran menjalankan agama di desa ini masih tergolong rendah, perlu sedikit paksaan agar anak-anak mau dan terbiasa melakukan kewajibannya.

Ada lima guru laki-laki di madrasahku. Tiga di antaranya selalu berangkat telat saat salat Jumat. Beberapa kali aku memintanya untuk datang tepat waktu agar bisa mengkondisikan murid-murid. Mereka sempat datang tepat waktu beberapa kali sebelum kemudian kambuh lagi. Banyak sekali tugas administrasi madrasah yang harus diselesaikan, katanya.

Aku selalu berangkat bersama Pak Asro dan anak-anak madrasah. Namun Pak Asro yang sudah cukup tua dan pendengarannya telah berkurang -jarang- bahkan tak pernah ikut membantuku mengkondisikan anak-anak. Dia datang bersamaku lalu masuk dan iktikaf di dalam masjid, tak menghiraukan bagaimana gaduhnya anak-anak di jerambah.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan