Buya Syafi’i Maarif adalah guru bangsa yang melampaui pluralisme. Kemanusiaan menjadi pintu utama perjuangan dan pergerakannya. Seperti halnya Gus Dur, Buya juga memiliki ketajaman berpikir dan pandangan terhadap diskriminasi.
Kita tahu bahwa Buya pernah menjelaskan pandangannya tentang membela Ahok. Ia sangat detail menyebutkan bagaimana politisasi ayat saat ini kerap menjadi sumber pemecah belah. Andai bukan Ahok yang berbicara mungkin akan berbeda responsnya.
Buya juga pernah menuliskan sebuah irama pergerakan Islam yang memanusiakan manusia. Pandangan ini kerap bertengger di media-media, sebut saja Republika. Dari ragam tulisan itu kita tahu bahwa Buya adalah sosok guru bangsa yang selalu gusar. Gusar akan kondisi keberagamaan pun keberagaman saat ini.
Bahkan di masa sakit, beliau masih kerap menuliskan satu dua artikel tentang respons sosial dan perubahan cara pandang kebanyakan.
Tudingan sekuler dan liberal juga pernah menjadi tuduhan yang intens kepada Buya. Lagi-lagi persoalan kemanusiaan dan stabilitas sosial yang ia singgung. Padahal masalah hati, siapa yang tahu. Masalah iman siapa yang sangka.
Jika memang Buya hanya mengejar eksistensi, kok agaknya bukan wilayahnya lagi. Lebih tepatnya, Buya mendidik umat Muslim, serta umat manusia secara umum agar semangat saling menghargai itu terus berlangsung. Tidak berhenti dengan satu dua alasan politis.
Setelah beliau wafat, kiranya masih banyak pemikir-pemikir, sarjana Muslim yang meneruskan semangat beliau. Karena apa yang sudah ditanam Buya, saya kira akan menjadi seperti taman bunga yang siapapun bisa menghirup wanginya.
Tentu bangsa Indonesia kehilangan sosok sederhana dan kalem itu. Di balik kekalemannya ia selalu gelisah, ketika konflik sosial selalu berbenturan dengan agama dan keberagaman.
Dalam salah satu pesannya, beliau menjelaskan bahwa “Islam yang damai, Islam yang konstruktif, dan Islam yang mengayomi bangsa ini dengan tanpa membeda-bedakan suku, agama dan lain-lain. Itu Islam yang benar, keislaman harus satu napas dengan ke-Indonesiaan dan kemanusiaan“.
Artinya Islam dan Indonesia adalah ruang kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi. Karena yang terpenting adalah nilai, terpenting adalah aksiologis dari sebuah perjalanan.
Jika saat ini ruang publik sesak dengan asumsi dialogis yang kerap membuat kita tersedak, pesan-pesan Buya dalam rangkaian tulisannya memberikan napas segar, memberikan aroma kasturi yang wangi, memberikan kelegaan yang tiada batas.
Oleh sebab itu, wafatnya Buya menjadi tangis dari berbagai kalangan. Akan tetapi juga menjadi senyum yang rupawan, ketika nilai-nilai yang ia tanamkan untuk generasi selanjutnya bisa dituai dan dihidangkan dengan semangat kemanusiaan seorang Buya Syafii Maarif.
Saya teringat istilah Yunani yang berbunyi Kalos Kagathos, bahwa sesuatu yang indah dan menawan adalah ketika ia mampu memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepada lingkungan sekitar. Buya adalah manusia yang memberikan ketenangan dengan kesederhanaannya, di satu sisi ia juga memberikan kebahagiaan bagi siapapun yang datang ngalap berkah kepada beliau.
Dari sini saya yakin, bahwa Buya adalah orang yang baik, orang yang memiliki cara, jarak, dan sudut pandang yang kaya akan cakrawala. Dari aspek kemanusiaan sudah tak terbendung lagi semangatnya. Dan tentunya, sebagai Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif adalah Manusia Kalos Kagathos yang pernah dimiliki oleh Nusantara.[]