Cara Si Buta Membuat Jalan ke Surga

47 views

Bagi lelaki tunanetra itu, tongkat kayu menjadi teman karib yang bertahun-tahun membantu dirinya menempuh arah. Tongkat itu pangkalnya lusuh dengan burai warna legam bekas genggaman tangan. Ia bisa menebak medan jalan dan benda-benda melalui perantara tongkat itu. Setiap kali ujungnya menyentuh tanah atau benda, maka tongkat itu seperti sensor otomatis yang mengirim sebuah kesimpulan ke sarafnya, sehingga ia bisa menebak keadaan jalan yang sedang ditempuh atau menyebut sebuah benda yang disentuh ujung tongkatnya.

“Meski aku tak melihat, tapi aku ingin membuat jalan ke arah surga bersamamu,” bisiknya pada tongkat itu, seraya mengelus bagian gagangnya.

Advertisements

#

Pagi itu ia harus menyisihkan pekerjaannya sebagai penganyam tikar. Usai subuh, ia pamit kepada istrinya untuk ikut gotong royong pembuatan jalan baru yang membelah lereng bukit Manuk yang berjarak sekitar dua kilometer ke arah utara rumahnya.

Jalan setapak itu dibuat sebagai akses baru untuk menghubungkan dusun Bato dan dusun Aeng agar warga dari dua dusun itu bisa saling menjangkau dengan mudah; anak-anak dusun Bato lebih dekat jika ingin bersekolah ke dusun Aeng, sedang warga dusun Aeng lebih dekat jika ingin ke pasar yang ada di dusun Bato.

“Mas Toha sebagai tunanetra mestinya tidak perlu pergi ke gotong royong itu. Itu pekerjaan orang normal. Aku khawatir, Mas Toha alih-alih mau membantu malah hanya merepotkan yang lain,” suara istrinya terdengar dari pintu bilik yang hanya tersekat sarung bekas.

Ia tersenyum. “Aku akan membantu apa yang aku bisa. Aku sadar aku buta, tapi aku yakin masih ada pekerjaan yang bisa kulakukan,” suaranya datar dan lembut. Istrinya tak menjawab.

Sejenak keadaan mendadak hening, hanya terdengar ribut ayam di kandang belakang dapur. Ia lalu meraih tongkat kayu kesayangannya. Pada ujung tongkat itu sudah terikat sebuah tas plastik berisi singkong rebus yang sejak semalam ia persiapkan sebagai bekal.

“Hati-hati ya, Mas. Semoga tak ada kendala apa-apa,” pesan istrinya sambil mendaratkan sentuh lembut telapak tangannya di bahu suaminya itu. Ia meraba tangan istrinya seraya tersenyum.

“Terima kasih doanya, Sayang. Jaga dirimu baik-baik, semoga upayaku ini bisa melapangkan jalan kita ke surga.”

“Amin, Mas!”

“Dan ini, ada sedikit uang buatmu jika ingin membeli camilan.”

Sejumlah uang yang terlipat rapi ia selipkan pada telapak tangan istrinya, lalu tangan istrinya ia genggam hingga tangan itu purna menggenggam uang pemberiannya. Ada kehangatan dan keindahan yang ia rasakan. Ia tersenyum meski dalam gulita.

Setelah pamit, ia melangkahkan kaki, sedang tangannya menggerak-gerakkan tongkat, menebak benda apa atau medan jalan bagaimana yang disentuh ujung tongkatnya. Pagi yang temaram, embun masih tercurah deras melumasi rumput, jalan dan daunan. Ia menggigil, sesekali menggigit bibir menahan dingin. Jalanan naik-turun, melandai, kadang datar, kadang berbatu. Dadanya tersengal kembang-kempis. Sesekali ia berhenti. Ada rasa nyeri pada tulang-tulangnya.

Saat menempuh perjalanan yang melelahkan itu, ia teringat dengan pesan guru ngajinya, “Orang yang baik itu tak mesti harus jadi ini atau itu. Tapi orang yang baik itu adalah orang yang berguna. Jika kamu ingin menjadi orang yang berguna, bergabunglah dengan orang-orang yang suka bergotong royong. Pada kegiatan gotong royong itu ada banyak faedah yang bisa kamu dapat, antara lain bisa saling membantu, saling bersilaturrahmi dan saling meneguhkan keakraban. Selain itu, gotong royong juga merupakan jalan menuju surga.”

Itulah salah satu pesan gurunya yang memantik semangat bagi dirinya untuk selalu terlibat dalam kegiatan gotong royong, meski tak jarang ia sering mendapat gojlokan yang menyakitkan di saat ikut gotong royong itu.

“Kalau kerja gunakan mata dengan baik, biar cepat.”

“Jangan diraba-raba, Mas. Ini batu, bukan kue.”

“Ha-ha-hah.”

Gojlokan itu membuat ia menangis dalam batinnya, tapi ia berpikir, begitulah memang jalan yang harus ia tempuh untuk menjadi orang yang berguna dalam keadaan buta. “Aku ingin sepertimu wahai tongkatku. Meski hanya kayu kecil yang sederhana, tapi sangat berguna,” ia mengecup gagang tongkatnya sembari terisak.

#

Tubuhnya yang kurus membuatnya kadang gemetar saat sebuah batu ia letakkan di bahu kanannya yang menonjol oleh tulang. Tangan kanannya membantu memegang batu itu agar tetap pada posisi yang nyaman, sedang tangan kirinya memegang tongkat untuk membantu langkahnya ke arah yang diinginkan. Ia tertatih, kadang terseok dan napasnya tersengal saat melangkah sambil mengusung batu. Keringatnya merembes turuti sebagian lekukan tubuhnya. Tapi keadaan itu membuatnya bahagia, bisa ikut gotong royong sebagaimana yang dulu dianjurkan oleh guru ngajinya.

Setiap ikut gotong royong, ia sering mengusung benda-benda yang harus dipindahkan, seperti batu, kayu, tanah, dan lainnya. Masih seperti biasanya, beberapa orang meledeknya dengan kata-kata yang menyakitkan, namun sebagian ada juga yang menyemangatinya dengan kata-kata yang lembut. Tapi, ia bersikap biasa saja pada setiap kata-kata yang ia dengar, baik ledekan atau pujian, sebab dirinya bekerja tanpa harus dipengaruhi kata-kata, ia ingin bekerja hanya karena panggilan suara hatinya sendiri untuk menjadi orang yang berguna.

Setelah bekerja seharian dan pulang dengan menempuh jarak yang jauh hanya dengan langkah tertatih yang dibantu sebatang tongkat, akhirnya ia tiba di rumahnya pada malam hari. Wajahnya semringah, sepaut senyum senantiasa terpatri di sepasang bibirnya. Ia mengecup kening istrinya penuh kemesraan, seraya berterima kasih karena telah mengizinkannya untuk ikut kegiatan gotong royong.

Setelah obrolan santainya dirasa cukup, ia lalu melangkah ke ruang tengah untuk menganyam tikar. Meski dirinya ditikam rasa ngantuk karena kerja gotong royong seharian, tapi ia tetap melawan seteguh hati, sebab selain kerja membantu sesama, ia juga harus menghidupi istrinya.

Sejak masih remaja, ia belajar menganyam tikar daun siwalan kepada ibunya. Sebelum tikar teranyam, ada banyak proses yang harus ia lakukan, mulai dari menjemur daun siwalan setelah dikupas dari pohonnya oleh pekerja khusus yang pandai memanjat. Meraut daun yang mulanya lebar hingga jadi helaian panjang. Kemudian menganyamnya dengan hanya bermodal duga pikiran yang disesuaikan dengan gerak tangan.

Dalam sehari, ia bisa menghasilkan dua sampai tiga lembar tikar. Hasil penjualan tikarnya lumayan untuk ia tabung dan ia berikan kepada orangtuanya. Bermodal hal itulah ia akhihrnya berani untuk berumah tangga. Istrinya adalah pilihan orang tuanya, setelah akad nikah selesai, ada bening air membutir dari kedua matanya yang tertutup rapat. Ia haru atas kenyataan yang ia rasakan karena tidak menyangka dirinya bisa mendapat istri layaknya orang-orang normal.

“Kau adalah tongkat pertamaku sebelum tongkat ini, yang akan menuntunku mejalani kehidupan ini,” ucapnya lembut sambil ia usap pelan pundak istrinya dengan telapak tangan kanannya sedang tangan kirinya masih erat memegang sebatang tongkat. Sejak saat itu, ia berniat untuk menyukuri hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat, salah satunya dengan bergotong royong.

#

Bertahun-tahun ia selalu melibatkan diri dalam kegiatan gotong royong. Meski dirinya harus bekerja lebih keras daripada yang lain karena ditakdirkan menjadi tunanetra, tapi semua itu membuatnya bahagia, serasa telah melihat dunia beserta keindahannya. Luka batin karena ejekan dan luka tubuh karena sering terjatuh saat bekerja tak membuatnya jera untuk mengamalkan anjuran guru ngajinya itu. Istrinya pun mengizinkannya dengan senang hati, kecuali pada suatu hari, ketika ia pamit untuk gotong royong membuat kandang sapi milik Mak Jojo.

“Mas Toha ingat siapa Mak Jojo itu? Dia yang telah memfitnah keluarga kita dulu sebagai pencuri ketela milik Obak Sabrun. Mestinya Mas tidak perlu ikut gotong royong membuat kandang miliknya,” suara istrinya meninggi dengan intonasi yang dihentak-hentak.

“Mak Jojo memang pernah menyakiti kelurga kita, tapi tidak baik kita menyimpan dendam, tidak baik membalasnya dengan keburukan pula. Lebih baik kita maafkan dan hari ini buatlah ia menyesal dengan kebaikan-kebaikan kita. Lagi pula, gotong royong itu kan bakal membuat jalan kita ke surga,” ia menjawab dengan lembut sambil mengatur napas pelan.

“Huh! Itu bukan jalan ke surga, itu jalan yang goblok,” bentak istrinya bersamaan dengan suara panci yang ditaruh keras ke lantai.

“Sayang, dengar dulu…”

“Pokoknya jangan sampai Mas ikut gotong-royong itu.”

Istrinya kemudian melangkah keluar, menutup pintu agak kasar. Ia hanya menunduk, menarik dan mengeluarkan napas pelan-pelan sambil mencermati suara langkah istrinya yang menjauh.

Ia tetap tenang dan yakin kemarahan istrinya nanti akan redam dengan sendirinya. Tekadnya tetap bulat untuk ikut gotong royong membuat kandang sapi milik Mak Jojo, meski Mak Jojo pernah memfitnah keluarganya.

Saat hendak berangkat, seketika ia bingung, langkahnya tertatih mondar-mandir sambil meraba-raba tembok, lantai, meja, dan benda-benda lainnya. Wajahnya muram; tongkat kayu kesayangannya yang biasa ia taruh di belakang pintu ternyata tidak ada. Seperti ada yang sengaja memindahkan, ia menduga istrinyalah yang menyembunyikan tongkat itu.

Berkali-kali ia memanggil istrinya, tapi tak menyahut. Ia terus meraba-raba, berusaha mencari tongkat itu, tapi tetap tak menemukannya meski sudah mengelilingi ruangan dan tak lupa menelusupkan tangannya ke setiap celah yang ia raba. Ia juga tak menemukan benda lain sebagai pengganti tongkat itu. Sementara dalam dadanya, keinginan untuk ikut gotong royong tetap menggebu.

Akhirnya ia berangkat meski tanpa tongkat. Sepasang tangannya mengganti fungsi tongkat tersebut, meraba langsung benda-benda yang ada di depannya; menyentuh pohon, semak, tiang listrik, batu, tumpukan tanah dan benda lainnya.

Berjam-jam ia masih belum sampai di rumah Mak Jojo. Ia tak sadar bahwa sebenarnya dirinya telah kesasar ke arah hutan. Berkali-kali ia istirahat sambil berupaya menghilangkan rasa bingung dan berharap tujuan segera dicapai. Tapi semuanya sia-sia. Ia tetap tidak sampai di rumah Mak Jojo, malah semakin bertemu dengan medan-medan yang sulit; menapak tanah yang kadang berumput lebat dan kadang berbatu kasar.

Saat ia istirahat dengan duduk bersandar sebuah pohon, dari arah semak yang merumpun di sebelahnya, seekor ular seketika meliut lalu mematuk kakinya hingga berlumur darah. Tiba-tiba ia merasakan sekujur tubuhnya dingin membeku dan seluruh uratnya kaku. Tenaganya juga lenyap seketika. Kepalanya terasa pusing. Tubuhnya serasa diputar-putar. Pelan-pelan ia kemudian rubuh ke tanah, sejenak merasa dirinya melayang-layang di udara. Ia lalu tak ingat apa-apa. Ia tidak sadar bahwa dirinya telah melewati proses kematian yang istimewa tanpa sedikit pun teriris rasa sakit.

Dalam kematian yang indah dan tak menyakitkan itu kemudian ia merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan di dunia, sebab tiba-tiba sepasang matanya bisa melihat.

“Betapa indahnya karunia bisa melihat,” gumamnya sembari tersenyum. Yang pertama ia lihat adalah dirinya ditandu empat orang berjubah putih ke sebuah tempat yang indah. Ia berpikir, mungkin itulah surga sebagaimana yang pernah diceritakan guru ngajinya dulu.

ilustrasi: lukisan pablo picasso.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan