Keberhasilan dakwah Wali Songo dalam proses islamisasi di tanah Jawa dapat disederhanakan ke dalam dua metode. Pertama, metode samawi (melangit), yakni intensitas riyadlah dengan dzikir dibarengi tirakat. Kedua, metode ardliyi (membumi) seperti silaturahmi dan kecakapan dalam membaca kondisi demografi masyarakat sampai menemukan siyasah dan strategi yang tepat dalam berdakwah.
Itu sebabnya, para wali yang secara ruhani telah melampaui derajat spiritualitasnya tetap tenang dan thumakninah mengajar ngaji di sore hari, berlaku tirakat dan dzikir di ujung malam, namun tidak me-rahib-kan diri. Para wali yang agung itu tetap seperti kebanyakan kaumnya, menikah, berdagang bahkan mengembangkan kesenian yang disenangi kaumnya.
Seperti Sunan Bonang, yang mau blusukan bareng kaumnya menggelar wayangan dan menabuh musik khas jawa, yaitu Gamelan. Sama halnya Sunan Bonang, Sunan Kalijaga mampu merangkul serta mengambil hati masyarakat Jawa lewat tembang Lir-Ilir yang legendaris itu. Begitupun proses dakwah ala Sunan Giri yang menawarkan masyarakat Gresik kala itu dengan dolanan anak Cublak-Cublak Suweng, yang mengandung makna agar manusia tidak menuruti hawa nafsu dalam hidup di dunia.
Proses Islamisasi ala Wali Songo inilah yang harus di-uri-uri, dilestarikan, dan harus diwariskan kepada generasi era kini, generasi milenial.
Proses dakwah yang sarat makna, lembut, serta penuh dengan kearifan lokal yang disajikan melalui media yang disenangi masyarakat kala itu rupanya mampu mengambil hati kaumnya untuk tertarik kepada ajaran Islam. Maka, tepat sekali apa yang dilakukan para santri dan pemuda NU yang tergabung dalam Majelis Dzikir dan Sholawat Rijalul Ansor (MDSRA) Pringsewu pekan lalu.
Melalui rutinan dzikir dan sholawat tiap selapan hari, para pemuda Ansor (Rijalul Ansor) ternyata tidak hanya menggelar “ritual langit” an sich, namun diselingi dengan parade seni pencak silat Pagar Nusa dan pembacaan puisi.
Mengapa ada pencak silat dan puisi?
Umumnya masjlis di kalangan warga NU kalau tidak dzikiran ya sholawatan. Ini sudah umum dan jamak adanya. Namun, malam itu MDSRA Pringsewu mengemasnya dengan suasana berbeda. Tidak kaku, tidak terlalu formil, namun tetap dalam koridor adabiyah penuh khidmah.
Kegiatan diawali dengan tahilan yang dihadiahkan pahalanya untuk sahabat Kasatkornas Banser alm Alfa Isnaeni yang baru saja berpulang ke rahmatullah. Kemudian, disusul pembacaan Rothib Simthut Duror dipimpin oleh Habib Usman Al Jufri.
Pembacaan Rothib ini sesekali diselingi bait-bait qosidah yang digandrungi anak muda saat ini, seperti “Assalamualaika” (Roqqotta aina) yang telah banyak di-cover di Youtube oleh Nisa Sabyan hingga Maheer Zain, lalu Sawangen versi”‘Sholawat, Ayo Sholawat!” oleh Mafia Sholawat .
Puji-pujian qoshidah yang diiringi dengan perkusi hadroh menambah keasyikan jamaah. Para jamaah yang duduk bersila seolah tak hiraukan capainya ke dua kaki yang terlipat lebih dari dua jam. “NKRI harga mati, sholawat sampai mati, taubat sebelum mati!” begitu penggalan salah satu lagu yang di-cover dari campur sari “sawangen” diiringi dentuman bas dan genjring bertalu-talu.
Sholawatan era kini yang lebih “menggembirakan” dengan sentuhan rasa pop khas anak muda ternyata mampu “mengambil hati” kaum muda untuk mendatangi majelis sholawat. Lihatlah kesemarakan majlis sholawatan saat ini, di mana-mana tidak sepi dari anak muda. Dulu, majlis seperti ini kebanyakan diikuti ibu-ibu dan orang tua saja. Sementara anak mudanya lebih suka nonton konser musik.
Namun, seiring majunya zaman, melalui modifikasi dan inovasi dalam penyajianya, sholawat kini amat dekat dengan masyarakat. Inilah yang boleh jadi merupakan siyasah dakwah ala Wali Songo yang dikembangkan oleh Presiden Syekher Mania, Habib Syech bin Abdul Qodir as Segaff, Habib Zainal Abidin, Gus Azmi, Veve Zulfikar, dan lainya.
Memang rutinan MDSRA malam itu didedikasikan untuk almarhum Alfa Isnaeni. Jadi, nuansa berkabung tetap menjadi spirit anak-anak muda NU untuk mengenang kader terbaik BANSER asal Jawa Timur tersebut.
Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terakhir kepada almarhum, salah seorang kader Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Rini Mardiatun Nisa, membacakan puisi berjudul “Selamat Jalan Komandan”. Puisi tersebut diharapkan mampu memberikan energi positif generasi kini agar dapat menghargai jasa pendahulunya serta meneladani jejak perjuangannya.
Tak lupa di pengujung kegiatan ini, dipersembahkan atraksi para pendekar pencak silat dari Pagar Nusa. Ditampilkanya pencak silat bukan tanpa alasan. Pencak silat merupakan seni bela diri asli dalam negeri.
Pencak silat dulu menjadi bagian penting tradisi pesantren. KIai zaman dulu, selain alim ilmu fikih, juga mahir menampilkan jurus kanuragan dan kejadugan (ilmu hikmah). Maka, pesantren zaman dulu di samping sebagai tempat menuntut ilmu agama Islam sekaligus merupakan padepokan silat. Kemudian dari pesantren lahirlah tokoh dan pendekar kebanggaan NU, di antaranya pendiri Pagar Nusa, KH Mashum Jauhari (Gus Ma’shum) dan KH Suharbillah.
Wa ba’du. Dakwah merupakan keniscayaan bagi tegaknya izzul islam wal muslimin. Wali songo telah mewariskan metode dakwah yang sangat kontekstual di eranya, tinggal kita mau ittiba dengan mereka atau tidak. Saatnya membentengi kaum muda dengan nilai-nilai dakwah Wali Songo. Di mana pun dan kapan pun, kibarkan Islam yang ramah. Jangan diam, kalau tidak ingin negeri ini terbelah!