Ada satu pelajaran penting dari maraknya tagar #BoikotTrans7 yang menjadi sosrotan publik belakangan ini, yaitu jangan sekali-sekali mencoba mengolok santri, apalagi pesantren, hanya demi rating televisi. Sebab, kalau umat ini bisa bersabar menunggu sahur sambil menonton sinetron kejar tayang, mereka tentu tidak akan sabar ketika yang dihina adalah dunia yang membesarkan jiwa jutaan anak bangsa.
Tentunya tagar tersebut bukan semata muncul dengan begitunya saja, melainkan ada kronologi yang tertuang dalam episode program televisi nasional, yaitu XPOSE – Trans7 yang menayangkan sebuah judul provokatif “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” Potongan video ini lantas menyebar di TikTok, Instagram, hingga WhatsApp grup ibu-ibu pengajian. Kontan, publik marah.

Tayangan tersebut seakan hanya menyudutkan kehidupan santri, kiai, dan pesantren bukanlah kritik konstruktif. Sehingga muncul propaganda murahan yang hanya laku dijual dengan tawa palsu penonton. Mereka memotong realitas pesantren, membuang konteksnya, lalu menertawakannya tanpa klarifikasi. Hasilnya? Bukan kritik, melainkan cemooh. Bukan edukasi, melainkan ejekan. Bukan juga sindiran cerdas, tapi humor murahan yang menyentuh wilayah sakral.
Media yang sehat seharusnya mencerdaskan. Bukan sebagai propaganda arogansi kultural. Yang hanya mengambil fragmen kecil, melebih-lebihkan, lalu menertawakan. Seakan semuanya sedang menonton wayang dan hanya diperlihatkan hidung panjang Togog sebagai bahan ejekan, tanpa mengerti filosofi lakonnya.
Kemalasan Berpikir atau Haus Sensasi?
Kalaupun benar hanya ingin menyuguhkan kritik sosial, banyak sekali isu pesantren yang layak dibedah, seperti tantangan digitalisasi pendidikan Islam, problematika kurikulum, kemandirian ekonomi pesantren, atau kiprah santri dalam demokrasi. Tapi mengapa yang dipilih justru “santri jongkok minum susu”?
Memang benar, ada tradisi di beberapa pesantren yang mengajarkan santri untuk makan atau minum sambil jongkok. Tapi apakah itu sekadar formalitas semata? Tentu tidak.
Dalam perspektif pesantren, duduk jongkok saat minum merupakan latihan atas kesederhanaan. Itu bentuk riyadhah (latihan spiritual) agar santri merendahkan hati, bahkan dalam hal-hal sepele. Sebagaimana Imam Ghazali yang mengajarkan bahwa akhlak tidak dibangun sekali jadi, tetapi ditempa melalui kebiasaan kecil yang diulang.