Catatan Lomba Kolintang Berselawat (2): Alat Musik itu Tak Beragama

50 views

Siang menjelang sore, 15 Juni 2021, penulis kedatangan rombongan panitia lomba kolintang berselawatyang dimpimpin oleh Ibu Nany Suryo, di kampus UNUSIA Jakarta. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan rencana penyelenggaraan acara lomba kolintang berselawat, Bu Nany langsung bertanya pada penulis.

“Apakah boleh mengiringi selawat dengan musik kolintang?”

Advertisements

“Memang kenapa, Bu?” penulis balik bertanya .

“Kan, kolintang musik tradisional Minahasa yang identik dengan alat musik Nasrani.”

“Sejak kapan alat musik punya agama?”

“Iya sih, tapi saya khawatir lomba kolintang berselawat ini akan menimbulkan kontroversi. Kita, dari panitia, kan niatnya baik, ingin mensyiarkan selawat dan memasyarakatkan kolintang sebagai khazanah musik Nusantara.”

“Lha itu piano, organ, gitar, kan semuanya alat musik kafir, sekarang malah dipakai mengiringi selawatan dan tak ada masalah.”

“Berarti tidak apa-apa, ya, berselawat diiringi kolintang?”

“Ya tidak apa-apa, wong niatnya untuk kebaikan. Yang tidak boleh itu kalau digunakan untuk merusak dan berniat membuat permusuhan.”

Mendengar penjelasan penulis, Bu Nany mengaku makin mantap untuk menyelenggarakan event tersebut. Untuk menguatkan hati panitia dan pengurus PINKAN, penulis menjelaskan dasar argumen mengenai transformasi alat musik dalam Islam.

Di depan rombngan panita lomba kolintang berselawat itu, penulis menjelaskan, secara historis dan antropologis musik rebana yang dianggap sebagai musik Islam. Sebelum diidentikkan sebagai musik Islam, rebana juga dipakai oleh kaum Quraisy jahiliyah untuk mengiringi pembacaan pusisi dan nyanyi. Pada era jahiliyah (pra-Islam), sering diselenggarakan kontes pembacaan puisi diiringi dengan berbagai alat musik, termasuk rebana. Festival puisi ini biasanya dilakukan di sekitar Kakbah. Puisi terbaik akan dipajang di dinding Kakbah untuk dibaca dan dihafal. Selain untuk mengiringi puisi, rebana (dan alat musik lainnya) juga berperan dalam ritual yang bersifat mistik dan sihir.

Pada era Nabi Muhammad, alat musik rebana yang sering digunanakan kaum jahiliyah Quraisy untuk mengiringi pembacaan syair dan riutal mistik ini digunakan oleh kaum Anshor untuk menyambut kedatangan Nabi di Madinah. Sejarah mencatat, sebagai ekspresi kebahagiaan atas kedatangan Nabi Muhammad yang hijrah ke Madinah, mereka berbaris di tepi jalan sambil menabuh rebana dan menyanyikan syair “thala’al bdru” (terbitnya sang rembulan). Setelah itu, rebana banyak dimainkan kaum muslimin saat hari pernikahan dan hari raya. Bahkan pada hari-hari bahagia seperti saat merayakan kemenangan perang, para sahabat memainkan rebana.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan