Cermin Buram Resi Durna

Resi Durna adalah sosok yang layak dijadikan cermin dalam menghadapi era post truth yang serba tersamar. Dalam dunia pewayangan, Resi Durna adalah orang suci yang menjadi guru dan panutan para satria, baik Pandawa maupun Kurawa. Selain cakap dalam dalam strategi perang, Durna juga menguasai ilmu spiritual-religius. Sebagai seorang resi, dia dianggap memiliki otoritas moral dan etik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Durna memiliki senjata yang disebut Brahmastra, senjata surgawi yang menjadi pegangan para brahmana dalam menegakkan keadilan dan menjaga moral para ksatria.

Sayang, status sosial yang terhormat justru diselewengkan oleh Durna. Berbagai privilege dan atribut sosial sebagai manusia suci justru disalahgunakan untuk memenuhi ambisi pribadi. Alih-alih menjadi penjaga moral yang adil, tindakan Durna justru meruntuhkan keadilan dan menghancurkan kebenaran.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Sikap Durna yang mengabaikan keadilan terlihat pada perlakuannya terhadap Bambang Ekalaya. Dikisahkan, seorang pemburu dan bangsa Nishada bernama Bambang Ekalaya ingin berguru kepada Resi Durna yang memiliki Danuwendo, ilmu memanah paling jitu. Namun, keinginan itu ditolak karena menganggap Bambang Ekalaya berasal dari wangsa rendahan yang tidak layak disejajarkan dengan para ksatria.

Meskipun ditolak, Ekalaya tetap ingin berguru kepada Durna. Demi mewujudkan keinginannya, dia membuat patung Durna dan berguru pada patung tersebut. Setiap hari dia latihan di depan patung Durna dan memperlakukan patung tersebut sebagaimana layaknya seorang guru. Berkat ketekunan berlatih dan ketulusannya menghormati guru, akhirnya Ekalaya berhasil menguasai ilmu Danuwendo.

Murid-murid Durna terkejut tatkala mengetahui ada orang lain menguasai ilmu memanah jitu, yang hanya dimiliki Durna. Mengetahui hal ini, Durna mendatangi tempat berlatih Ekalaya di tengah hutan. Ekalaya terkejut dan merasa bahagia melihat Dorna, guru yang diidolakan, datang ke tempatnya.

Durna bertanya bagaimana Ekalaya dapat memiliki ilmu Danuwendo, sedangkan dia tidak pernah mengajarkannya. Ekalaya menjelaskan bahwa dia belajar dari patung Durna. Dia menyatakan, kalau tidak dapat berguru langsung pada resi Durna, cukup baginya belajar pada patung sang resi.

Mendengar jawaban Ekalaya, Durna marah. Durna merasa Ekalaya menjadi pesaing murid terkasihnya. Demi menjaga agar murid terkasih tetap menjadi satu-satunya orang yang menguasai ilmu Danuwenda, terbersit dalam hatinya siasat jahat untuk menyingkirkan Bambang Ekalaya

Untuk merealisasikan niat tersebut, Durna meminta Ekalaya memotong kedua jempol tangannya sebagai “guru-daksina” (persembahan atau imbalan kepada guru) kalau mau dianggap sebagai murid. Demi dapat diakui sebagai murid sang resi, Ekalaya memenuhi permintaan tersebut. Dia memotong kedua jempol tangannya dan diserahkan pada Durna. Sejak itu, dia tidak dapat memanah lagi, sehingga predikat pemanah ulung tetap berada di tangan murid terkasih sang Durna.

Apa yang dilakukan Durna ini jelas tindakan culas dan licik. Demi memenuhi ambisinya, membela murid kesayangannya, dia mengorbankan nilai-nilai keadilan dan menabrak norma kebenaran. Bagi Durna, membela murid terkasih lebih berharga daripada menegakkan kebenaran dan keadilan.

Tindakan Durna yang culas dan licik untuk membela Kurawa juga terlihat dalam lakon Dewa Ruci. Karena provokasi Sengkuni, Durna rela membuat skenario jahat untuk membunuh Bima, sosok yang menjadi pusat kekuatan Pandawa. Dengan berselimut jubah suci sebagai seorang resi dan guru yang harus ditaati perintahnya, Durna merancang skenario pembunuhan terhadap Bima.

Bersama dengan Duryudana dan Sengkuni, Durna mengundang Bima ke sebuah pesta. Dalam pasta ini Bima disuguhi makanan dan minuman yang sudah diberi racun mematikan. Setela Bima tidak sadarkan diri karena racun, mereka mengikat dan membuang tubuh Bima ke sungai Gangga. Namun Bima tidak meninggal, malah menjadi kebal terhadap racun dan kesaktiannya bertambah setelah bertemu dengan dewa naga di dasar sungai.

Setelah gagal pada percobaan pembunuhan pertama tersebut, Durna membuat skenario kedua, yaitu memerintahkan Bima mencari air suci Tirta Perwita Sari yang ada di dasar Samudra. Perintah ini sebenarnya hanya siasat untuk membunuh Bima. Sebab, dengan cara ini Durna yakin Bima akan mati tenggelam di telan dahsyatnya gelombang samudra. Bima menjalani perintah tersebut dengan penuh keyakinan. Sama sekali tidak menaruh curiga terhadap sang guru yang berniat mencelakainya.

Berkat bersihan hati yang tidak menaruh prasangka buruk pada sang guru, Bima akhirnya selamat. Saat berada di tengah samudra, Bima justru bertemu dengan Dewa Ruci yang merupakan manifestasi dari esensi dirinya sendiri. Bima mendapat pencerahan spiritual dan pengetahuan sejati (ilmu hakikat) Dewa Ruci. Dan Bima dapat kembali dengan selamat dan tercerahkan, sehingga membuat Durna makin kecewa.

Di sini terlihat, bagaimana kekuatan hati yang bersih dan jiwa yang tulus ikhlas dapat mengalahkan jiwa yang licik dan culas, yang ditutupi dengan selubung jubah suci seorang resi dan kemuliaan seorang guru.

Dalam perang Bharatayudha, Durna berada di pihak Kurawa, yang dalam dunia wayang menjadi simbol dari kejahatan dan angkara murka. Pemihakan Durma kepada Kurawa karena dia berutang budi secara materi dan status kepada Hastinapura. Prabu Duryudana telah memberikan jabatan dan berbagai fasilitas mewah kepada resi Durna. Bahkan anak tunggalnya, Aswatama, diangkat sebagai anggota keluarga Kurawa dan diberi kedudukan dan mendapat banyak kenikmatan hidup.

Pada akhirnya, siasat lick dan keculasan Durna berakhir berkat strategi Kresna. Saat perang Bharatayudha, disebarkanlah berita bohong (hoax) bahwa Aswatama mati di medan laga. Mendengar berita ini, Durna yang sangat mencintai anaknya, terguncang jiwanya sehingga tanpa sadar meletakkan senjatanya. Pada saat itulah Drestadyumena dapat membunuh pendeta Durna.

Kisah Resi Durna ini mencerminkan bahwa tidak semua orang yang menyandang jubah suci sebagai seorang resi dan menempati posisi mulia sebagai seorang guru dapat menjalankan peran tersebut secara baik. Gelar orang suci dan posisi terhormat tanpa dibarengi dengan kebersihan hati dan ketulusan justru dapat menjadi sumber bencana dan kerusakan sosial.

Dari Durna kita juga dapat melihat betapa bahayanya penyalahgunaan wewenang dan otoritas yang dilakukan oleh seseorang yang menyandang gelar suci dan posisi mulia. Dampaknya tidak hanya dapat mencelakakan orang per orang, tetapi juga bisa merusak sistem dan tatanan sosial yang dapat menimbulkan hura-hura, kekacauan, bahkan perang saudara.

Resi Durna ibarat cermin buram yang tidak dapat memantulkan wajah asli orang bercermin secara jujur dan jernih. Topeng indah yang menyembunyikan watak jahat dan culas, sehingga membuat banyak orang tertipu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan