Dakwah di Jalan Stoikisme

44 views

Katakanlah stoikisme mengajari kita untuk tidak larut dalam kesedihan, masa bodoh pada stigma, tidak ikut campur urusan orang, serta love self sebagai yang paling penting. Sehingga pertanyaannya adalah: “Apa amar makruf nahi mungkar akan disfungsi?”

Memang terbayang dan masuk akal jika tren stoa ini di masa depan akan menjadikan dakwah tidak sebagaimana biasa kita jumpai di acara-acara masyarakat, kajian, dan lainnya. Jika, peduli akan buruknya akhirat orang lain justru nanti akan menjadi pelanggaran etika? Atau, barangkali kekhawatiran itu hanya alibi dari pembiakan dakwah yang marah?

Advertisements

Justru stoikisme bagi saya dapat meminimalisasi pembiakan ekstremis dan radikalis agama. Bahkan, eksistensinya di tengah muda mudi akan mendorong diterapkannya asas-asas moderasi.

Tentu dengan beberapa hal. Pertama, dengan tidak menilai stoikisme sebagai ajaran berbahaya. Sebab, sikap indifferent stoa itu ditujukan untuk membatasi hasrat, emosi negatif, dan keputusan yang tidak logis, bukan semata-mata kebebasan liar meski bertumpu pada hukum alam sebagai tatanan logisnya (ERL. Tinambunan 2014: 33).

Seorang stoik akan cuek dengan kekacauan dan fokus melanjutkan hidup, sebab pikiran dan tindakan orang lain merupakan bagian dari tatanan semesta yang berada di luar kuasanya (Yosef Bilyarto, 2022: 69-71). Hal ini terlihat berseberangan dengan ayat-ayat dakwah dalam QS. Ali Imran [3]:104, QS. An-Nahl [16]125 dan lainya.

Demikian didasari oleh orientasi akhir hidup yang memang beda. Seorang stoik mengejar kebajikan sampai mati, tapi peduli akan kesan akhir dari hidupnya (Henry Manampiring, 2019: 276). Sedangkan, seorang muslim mengejar kebajikan, juga untuk kondisi sesudah mati, termasuk rasa tanggung jawab akan akhir hidup saudara muslimnya.

Justru, yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana stoikisme mampu membentuk perilaku positif, tanpa saling mengoreksi satu-sama lain. Misalnya, pada dikotomi kontrol tersebut, yakni kesadaran pada apa yang mampu dan tidak bisa ia lakukan. Sehingga hal kedua yang perlu dilakukan adalah berhenti memaksakan diri dengan menyadari keterbatasan.

Sementara, radikalisme dan ekstremisme sendiri banyak dimotori dengan cita-cita Islam sebagai kebenaran universal agama yang dinilai terlalu terburu dan seakan-akan keluar dari prinsip kuasa Tuhan yang harusnya diyakini logis dan sudah teratur. Sebagaimana kaum stoik yang teguh percaya pada kosmos (tatanan semesta) sebagai tatanan logis, sebagai kriteria hidup dengan etika dengan kodrat sebagai nilai dan batasannya.

Popularitas stoikisme akhir-akhir ini membuktikan bahwa semua orang membutuhkan kekuatan spiritual untuk kekalutan hidup yang jauh dari hal-hal materi. Lain lagi saudara kita yang malah memangkas prinsip etika, berlogika dengan hasrat, sehingga yang tersisa hanya dirinya dan nama agamanya.

Stoikisme menawarkan cara bagaimana membaca kondisi, berpikir dan berperilaku dengan taktis. Dengan menyiasati gerak hatinya agar tidak terjebak pada emosi dan tidak bergantung pada selain kosmos. Artinya, tindakan dan perilaku adalah medium utama dalam mendemonstrasikan ajarannya tanpa harus menyalahi hal eksternal dari kodratnya.

Dengan kata lain, Islam juga bisa cukup dengan fokus beribadah dengan sadar batasan diri, sabar, menguatkan iman, dan menghargai perbedaan juga akan mengantar agama pada puncaknya, terlebih itu sesuai dengan teks yang otoritatif.

Jadi bisa dikatakan, bahwa inang dari konflik agama adalah ketergesaan penganutnya, atau bahkan eksistensi pribadi dengan dalih dakwah. Sebab, pendakwah yang paham tugasnya, tentu tahu waktu dan batasannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan