Suasana kampus tempat anakku kuliah ramai bukan main. Mobil carteran yang kami tumpangi berjalan merayap ke area kampus. Di kanan-kiri jalan terdapat gedung-gedung perkuliahan yang berdiri gagah. Rasa bangga menggetarkan dada, menyadari anakku telah berhasil menyelesaikan studi di kampus bergengsi seperti ini. Susah payah aku mengumpulkan uang untuk membiayai kuliahnya, ternyata tidak sia-sia.
“Haraz sudah balas WA-mu, Bune?” aku bertanya pada istriku. Dia cuma menggeleng. Aku kembali menikmati keramaian kampus dengan pandangan mataku. Semakin mendekati gedung tempat wisuda, laju mobil semakin melambat. Para fotografer bertebaran di mana-mana. Anak-anak muda itu menyambut para undangan sembari menjajakan jasa.
Beberapa saat kemudian kami telah sampai di area parkir. Istriku sibuk membenahi make-up-nya. Anakku yang kedua dan ketiga tak berhenti ngemil semenjak bangun tidur di tengah perjalanan tadi. Kami turun di tempat parkir. Aku merasa perlu untuk mematut diri. Jangan sampai anakku nanti merasa malu karena melihat rambutku ada yang tidak rapi.
“Kita makan di mana, Yah?” celetuk Si Bontot tiba-tiba.
“Ikuti ibumu ke sana,” perintahku sambil menuding ke arah Ibunya yang telah melangkah pergi meninggalkanku. Putriku yang baru kelas 3 SD itu berlari mengejar ibu dan kakaknya. Aku lantas bersisir sembari mengoleskan sedikit minyak rambut sambil mengaca di depan spion.
“Arjun!” tiba-tiba ada seseorang memanggilku dari arah lain. Tolah-toleh kepalaku mencari sumber suara itu. Detik berikutnya kulihat seorang lelaki berkopyah datang kepadaku. Aku mengernyitkan dahi guna mengenalinya. Setelah beberapa saat berusaha membuka lipatan ingatan, akhirnya aku ingat juga siapa lelaki berkopyah putih itu.
“Hakim!” balasku seraya melebarkan tawa. Kami berjabatan tangan erat.
“Bagaimana kabarnya, Jun?” sapanya.
“Baik-baik saja Kim, seperti yang kamu lihat,” balasku cepat. Temanku di pondok yang kukenal sebagai santri abdi ndalem Kiai Salman itu lantas kutepuk bahunya. Tubuhnya begitu gempal tidak seperti yang dulu. Waktu di pondok dulu dia setiap hari pergi ke sawah milik Kiai Salman sampai lupa kewajibannya untuk belajar. Ketika ngaji di madrasah dia selalu mendapat hukuman berdiri di kelas karena tidak pernah hafal nadzoman-imrithy. Hakim adalah santri yang paling sering kena marah kala itu.
one of my fav, in all your cerpen, smart flow, berkarakter, and a masterpiece .. big salute from me, Kang Bisri