Kebaikan yang lebih berat dilakukan akan mendapatkan ganjaran yang lebih besar dari kebaikan yang mudah dilakukan.
Kalimat tersebut prinsip asasi yang selaras dengan apa yang didawuhkan Romo KH Chalwani, senior sealmamater dan guru terkasih Romo Kiai Asnawi Sonodikromo Asnawi Ridwan.

Memang tak ada pesantren yang instansi langsung gede. Pasti dari kecil dulu, dari majelis taklim, musala, langgar, rumah pribadi, masjid, dan kadang ngajinya di kebon karena belum ada bangunan.
Ketika belum berwujud pondok pesantren, murid masih sedikit, satu dua tiga orang saja. Proses awal ini penuh dengan perjuangan, berdarah-darah.
Dengan kesabaran dan ketekunan serta keikhlasan, murid pun bertambah. Pendiri dan perintis sebagai as-sabiqunal awwaluun tak bisa dibandingkan dengan para penerus. Karena, sebagai seorang yang babat alas, pendiri lebih berat dan apa yang dihadapinya jauh lebih kompleks dan rumit.
Mari menengok ke belakang agak jauh. Aristoteles, filsuf Yunani kuno sebelum Masehi, oleh Ibnu Miskawaihi dan Seyyed Hosein Nashr disebut sebagai seorang Nabi. Aristoteles mengajarkan pada para muridnya di padang rumput nan luas, sesekali sambil berjalan dan bergerak. Karena itu, filsafat Aristoteles disebut dengan mazhab paripatetik. Artinya, bergerak atau berjalan yang dalam bahasa Arab disebut dengan masyaiyah. Atau bisa dikatakan sebagai pesantren paripatetik/masyaiyah.
Disebut demikian karena cara “Kiai” Aristoteles mengajar dengan mengajak para santrinya berjalan dan bergerak. Sebab, “Kiai” Aristo sedang mengajak berpikir bersama santri-santrinya dan memikirkan berbagai hal yang terlihat yang terhampar di alam semesta ini.
Pasca Aristoteles, muncul mazhab Sekolastik di Yunani dan Neo-Platonis di Iskandariyah Mesir. Pada masa Neo-Platonis dan Helenistik, ada seorang filsuf dan ahli eksakta perempuan bernama Hiypatia. Ia dihukum mati lantaran pemikiran-pemikirannya yang dituduh sebagai penyihir.
Nabi Muhammad SAW lebih bervariatif. Nabi mengajar di pasar, di padang pasir yang terhampar, di gunung, di gua, di rumah, di masjid, dan pesantren yang santrinya adalah para sahabat Ikhwan as-Shafa. Kadang sambil berjalan, bergerak, berdagang, bertani, berdiam, beribadah, dan lain sebagainya. Karena totalitasnya adalah pelajaran yang harus disampaikan.