Dicari, Fikih Berkelanjutan untuk Atasi Krisis Iklim

Di tengah ancaman krisis iklim yang semakin mendesak, para ulama dan cendekiawan Muslim mulai menelusuri kembali ajaran Islam untuk menemukan solusi berkelanjutan. Mazhab fikih, yang selama ini menjadi panduan etika dan hukum dalam kehidupan sehari-hari, kini dihadapkan pada tantangan global seperti pemanasan bumi, banjir bandang, dan kekeringan.

Pertanyaannya, apakah ajaran Islam, yang menekankan keseimbangan alam (mizan), mampu menyediakan fikih yang relevan untuk dunia modern?

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Pertanyaan ini menjadi pusat diskusi di berbagai forum keagamaan dan lingkungan belakangan ini. Mazhab-mazhab fikih klasik seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali telah lama membahas isu lingkungan melalui konsep khalifah (wakil Tuhan di bumi) dan amanah terhadap alam.

Al-Qur’an, Surah Ar-Rum ayat 41, menyatakan bahwa kerusakan di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan manusia, yang menjadi dasar bagi fikih lingkungan modern. Para pakar seperti Profesor Mohammad Hashim Kamali dari International Institute of Islamic Thought menegaskan bahwa mazhab-mazhab ini bisa diadaptasi untuk mengatur emisi karbon, pengelolaan air, dan energi terbarukan.

Misalnya, mazhab Syafi’i yang dominan di Indonesia menekankan prinsip maslahah (kemaslahatan umum), yang bisa diterapkan untuk melarang deforestasi ilegal sebagai bentuk pencegahan kerusakan (fasad fil ard). Namun, tantangan utama adalah bagaimana mengintegrasikan fikih tradisional dengan ilmu pengetahuan kontemporer.

Di Indonesia, organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah membentuk fatwa lingkungan, seperti juga  deklarasi MUI tahun 2019 yang menyatakan perubahan iklim sebagai ujian iman. Tokoh seperti Gus Iqdam dari NU berpendapat bahwa fikih berkelanjutan harus mencakup regulasi halal untuk produk ramah lingkungan, termasuk sertifikasi karbon netral.

Di tingkat global, inisiatif seperti Islamic Declaration on Global Climate Change (2015) oleh para ulama menyerukan jihad melawan polusi, menggabungkan mazhab Hanbali yang ketat dengan prinsip keadilan sosial (adl).

Pencarian fikih berkelanjutan ini bukan hanya soal interpretasi teks, tapi juga aksi nyata. Di negara-negara Muslim seperti Indonesia dan Malaysia, komunitas lokal mulai menerapkan model pertanian organik berbasis syariah, yang mengurangi penggunaan pestisida kimia sesuai ajaran mazhab Maliki tentang menjaga kesuburan tanah.

Meski demikian, kritik muncul dari kalangan muda yang menuntut mazhab lebih adaptif terhadap teknologi seperti AI untuk pemantauan iklim. Tanpa reformasi ini, Islam berisiko tertinggal dalam gerakan global menuju Paris Agreement.

Krisis iklim saat ini menuntut umat Islam untuk merevitalisasi mazhab fikih agar tidak hanya normatif, tapi juga transformatif. Dengan menggabungkan warisan leluhur dan inovasi modern, fikih berkelanjutan bisa menjadi jembatan antara iman dan aksi lingkungan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan