Sobat Ambyar berduka ketika penyanyi pujaannya berpulang. Bak disambar petir di siang bolong, Didi Kempot, maestro musik rakyat itu, meninggal dunia di bulan suci Ramadan, tepatnya pada Selasa pagi, 5 Mei 2020 dalam usia 53 tahun.
Sesungguhnya, Didi Kempot pergi tidak meninggalkan duka. Ia justru meninggalkan kegembiraan, keriangan hidup. Itulah warisannya yang tak ternilai. Seberat apa pun beban hidup, seluka apa pun hidup kita tersakiti, karena cidro atau khianat, ia tetap mengajak kita untuk bernyanyi dan menari. Jangan larut pada duka lara hidup. Jika ada orang yang menyakiti, ayo kita jogeti.
Subhanallah. Itu bukan lagu. Itu bukan tari. Itu ilmunya para sufi. Kesadaran saya kemudian terlontar jauh ke masa-masa hidup Nabi. Ada seorang pemabuk yang ternyata nyaris tak pernah berpisah dari sisi Rasullah. Ia adalah Nuaiman bin Amr bin Rafa’ah.
Karena kelakuannya, ia tak disukai banyak sahabat Nabi. Tapi ia dicintai dan mencintai Rasul. Ia mencintai Rasul dengan caranya sendiri. Rasul pun mencintainya dengan cara yang berbeda. Kisahnya ada dalam syarah Ihya Ulumuddin, mahakarya Imam al-Ghazali.
Hampir sepanjang hidupnya, Nuaiman memang dikenal sebagai peminum, pemabuk. Bahkan, ketika sudah dekat dengan Rasul, ia belum bisa meninggalkan kebiasaan buruknya itu. Suatu hari, beberapa sahabat menghampiri Nuaiman yang sedang tergolek mabuk. Dihampiri para sahabat Nabi, Nuaiman berdiri dan bertanya, “Ada apa?”
Salah seorang sahabat langsung memarahi Nuaiman dengan makian. “Kamu ini setiap hari bersama Rasul, tapi kelakuanmu tetap saja seperti ini. Apa tidak malu sama Rasul?”
Belum sempat Nuaiman menjawab, sahabat yang lain menimpali, “Dasar kamu ini orang bejat. Tidak pantas orang sepertimu mencintai Rasul, karena pasti bakal dilaknat oleh Allah atas perbuatanmu ini.”
Kebetulan, saat itu Nabi Muhammad lewat, lalu menghampiri kegaduhan itu. Menjawab pertanyaan Rasul, salah satu sahabat mengadukan kejadian sesaat sebelumnya, tentang kemabukan Nuaiman.
Apa yang terjadi? Rasul tidak ikut mencela Nuaiman, tapi justru memarahi para sahabatnya. “Jangan pernah sekali lagi kalian semua menghujat dan melaknat Nuaiman. Meskipun seperti ini, tapi dia selalu membuatku tersenyum. Dia masih mencintai Allah dan Aku, dan tidak ada hak bagi kalian melarang Nuaiman mencintai Allah dan mencintaiku sebagai Rasul.”
Kapan Nuaiman membuat Rasul tersenyum, tertawa, dan gembira?
Diceritakan, suatu ketika, sesaat setelah sadar dari mabuknya, Nuaiman merasa perutnya keroncongan karena lapar. Tanpa banyak pikir panjang, ia mencegat penjual makanan yang kebetulan lewat di depan masjid lalu memesan dua bungkus. Nuaiman kemudian masuk masjid dan mengajak Rasul untuk makan bersama di luar masjid. Selesai makan, Rasul hendak kembali ke masjid namun dihadang oleh Nuaiman.
“Mau kemana ya Rasul? Habis makan masak tidak bayar,” kata Nuaiman.
Rasul pun tersenyum dan balik bertanya, “Yang pesan, kan, kamu?”
“Betul ya Rasul. Tapi di mana-mana raja itu mengayomi rakyatnya, penguasa melayani warganya, bos mentraktir karyawannya, masak saya yang harus bayar, ya Rasul?”
Nabi Muhammad pun terkekeh sambil merogoh koceknya, memberikan sejumlah uang kepada Nuaiman untuk mentraktirnya.
Di lain waktu, Nuaiman diajak berdagang ke Negeri Syam oleh sahabat Abu Bakar. Selain Nuaiman, Abu Bakar juga mengajak beberapa sahabat lainnya, salah satunya adalah Suwaibith bin Harmalah. Seluruh delegasi dagang diberi tugas masing-masing oleh Abu Bakar, kecuali Nuaiman. Karena dikenal paling amanah, Suwaibith diberi tugas untuk menjaga makanan. Di suatu siang, didorong oleh rasa lapar, Nuaiman mendekati Suwaibith. Ia meminta sepotong roti. Karena memegang amanah dari Abu Bakar, Suwaibith tak langsung memberikan roti yang diminta Nuaiman.
Tak terima permintaannya ditolak, Nuaiman menggertak: memberinya roti, atau akan mendapat masalah baru. Suwaibith bergeming. Dengan rasa kecewa dan tak kuat menahan lapar, Nuaiman pergi menuju pasar. Kebetulan, di pasar ada transaksi jual beli budak. Dari situ Nuaiman tahu, harga pasaran budak per kepala antara 100 sampai 300 dirham. Ide muncul, mata Nuaiman berbinar. Kepada pedagang budak, ia mengaku punya seorang budak yang akan dijual murah, cuma 20 dirham.
Banyak pedagang yang terbuai ingin membeli. Namun, sebelum traksaksi dilaksanakan, kepada calon pembelinya Nuaiman memberi keterangan soal perangai buruk “budak” yang dimilikinya. Si “budak” selalu mengaku sebagai orang merdeka, dan bukan hamba sahaya, saat akan dijual. Setelah deal soal harga, Nuaiman pun mengajak Suwaibith ke pasar. Alamak, saat itulah Suwaibith dibeli oleh salah seorang dan dijadikan budak.
Dengan uang hasil penjualan Suwaibith, Nuaiman pun kemudian membeli makanan, dan bahkan sempat membelikan hadiah untuk Rasulullah. Sementara, Abu Bakar yang sudah merasa lapar mencari-cari Suwaibith. Melihat kebingungan Abu bakar, dengan santai Nuaiman mengaku bahwa dirinya telah menjual Suwaibith. Nuaiman kemudian membawa Abu Bakar ke pasar dan membeli kembali Suwaibith.
Saat semua rombongan dagang sudah pulang, kisah itu oleh Abu Bakar diceritakan kepada Rasul. Mendengar kisah itu Rasul tidak marah, justru tertawa terbahak-bahak hingga terlihat gigi gerahamnya. Rasul malah sering menceritakan kisah penjualan Suwaibith itu kepada para tetamu yang datang. Selalu membuatnya tersenyum, tertawa, dan gembira itulah yang membuat Rasul begitu mencintai Nuaiman.
Begitu juga Sobat Ambyar, yang begitu mencintai Didi Kempot lantaran selalu membuat orang terkekeh, tersenyum, tertawa, dan berjoget ria bahkan di tengah luka. Itulah amal hidupnya: membuat orang merasa bahagia. Menjadi teman di tengah duka. Duka lara tak perlu diratapi hingga kita menjauhi rasa putus asa —sebab putus asa adalah perbuatan setan. Dan itulah, juga, yang diajarkan oleh para sufi. Sakit itu harus dinikmati, dijogeti, bukan dirutuki.