ENTITAS DIMENSI KEDUA
Halaman Rumah/
setelah tiba, angin menggigil menahan sepah melodrama kota
seberapa kali aku menelusup pada rerintihan sederhana itu
Kembangsoka, akurat saja aku mematungi surga kecil-kecilan, tumbuh
menimbuni pekatan masa lalu dan kepatahan masa depan
karena itu, aku katakan yang mesti berujung adalah
kepahitan syukur di pundak ibu;
opor ayam yang dibumbui keningnya halau gundah
dan rujak dengan nasi jagung menguning tubuhnya tambah benderang
dan pelik kesadaran di pergelangan tanganmu ayah
apalagi, rumahmu disini, surgamu disini nak!
pulanglah aku di sini, sejenak saja
sepah itu kan kusirnai lewat senjata doaku
_untukmu hingga kelak kematian.
Di Perantauan/
aku karam, iya
aku tumbuh, iya. bayangan itu lagi-lagi mencambuknya menjelma dimensi.
pada akhirnya semua kepala memotret,
bagian-bagian dengan mempawah hulu masing
ingat senjata itu dari bibir keringmu, meletuslah ingatan jernihku
_kemudian mengajarkan jarak sebagai kesimpulan yang tak pernah terangkum
bahwa di sini sebagai dimensi pengembaraan setelah halaman ayu menempel
maka aku peluk jelajah; terbentang hadiah tuhan maha luas
_karena terkadang kita lupa sepahan itu hanya bisa dilahirkan namun tiada berujung, tidak.
dimensi ini
_kekal.
ternyata diriku bukan asing lagi dari semacam biri-biri buah syak. kini Kembangsoka dan tanah itu juga berubah pelukan serupa seri wajah ibu, sampai kini menyadari bahwa jeda tak selama jarak jauh dan menyedihkan. akan selalu ada di hati antara keduanya. semisal rindu terhunus, satu-satu kan tetap menjelma jadi penawar.
wahai embusan angin, sampaikan deruku kuingin berseru. kini jalanku tetap terjal teramat jauh bersamudra, kupanggul cinta yang manis semanis madu dan peluhku adalah lukisan bunga dari sesosok ibu; nikmat dan teduh sekali rasanya _ karena pengembaraan dan apapun itu adalah hiruk-pikuk sesungguhnya namun siaga terhalang luka dan sia.