Penjudi itu telah pulang! Seseorang melihatnya turun dari angkutan umum di pertigaan desa, berjenggot dan bercelana panjang cingkrang. Beberapa pemuda dan lelaki dewasa telah berkumpul di gapura dusun, bersiap menghadang penjudi itu agar tidak memasuki Dusun Kamulyan.
Hendra Budiman mengetahui kepulangan penjudi itu dari Rahman, kepala dusun yang masih muda, pada Minggu pagi, ketika dirinya sedang berkutat dengan laptop menyelesaikan tulisan untuk blog pribadinya.
“Cepatlah, orang-orang sudah berkumpul di gapura dusun,” kata Rahman.
“Untuk apa aku ke sana?”
“Ikut saja. Mungkin kehadiranmu sangat penting!”
Tanpa sempat mematikan laptop, belum juga mandi dan sarapan, Hendra berjalan gegas mengikuti langkah Rahman menuju gapura dusun. Itu pintu masuk ke Dusun Kamulyan. Ramai orang di sana dengan wajah tegang memandang jauh ke utara, menantikan seseorang.
“Seharusnya Nasib sudah sampai gapura,” kata seorang warga.
Jarak pertigaan desa dengan gapura dusun sekitar lima ratus meter. Dengan jalan kaki beberapa menit, memang, seharusnya orang yang mereka nantikan sudah muncul. Mereka yakin, tak ada tukang ojek atau orang yang mau menawarkan tumpangan pada si penjudi itu, meski dibayar dengan segepok uang sekalipun.
“Jangan biarkan dia masuk ke dusun kita!”
“Jangan sampai dusun kita rusak dengan kepulangannya!”
“Dia tidak punya keluarga lagi di sini! Untuk apa dia pulang? Usir dia!”
“Ya, usir dia! Usir dia!”
Orang-orang berteriak, berseru, mengepalkan tangan ke atas. Tetapi, yang diadang belum juga muncul. Lalu, datanglah seorang warga, tergopoh-gopoh langkahnya.
“Nasib di musala! Nasib di musala!”
“Bagaimana bisa?” sahut Rahman.
Orang-orang saling berpandangan, menduga-duga.
“Mungkin dia lewat sawahnya.”
“Sawahnya yang mana? Itu bukan sawahnya lagi!”
“Mungkin dia kangen sawahnya. Dulu dia suka bakar ikan di gubuk di sawahnya, kalau menang rolet.”