Metrum
Bercak langkah-langkah panjangmu
Gugur semi jiwa ragamu
Terdera bidukmu terombang-ambing
Karam dan bangkit nyanyimu hening
Katamu, “kesunyian adalah sejatimu
Berdamailah
Pada kesunyian-kesunyian lain.”
Debur ombak di dadamu
Lengking dendam yang tenggelam
Ditelan samudramu yang kian legam
Bukti putih palung-palungmu
Kau bilang, “Kekerdilan adalah alam rahimmu
Mengertilah
Pada kekerdilan-kekerdilan lain.”
Ahoy, bara apimu yang dingin
Sorot matamu yang bening
Aku ingin singgah di bawah beringin
Tamanmu yang hijau kemuning
“Kita semua terlahir dari gumpalan ringkih dan alpa
Lalu saling mengaku dan berlomba-lomba
Dan lupa, dan sering kali lupa.” ucapmu,
Sebelum tangis kita terpisahkan, dan aku
Menuliskanmu di persimpangan yang asing
***
Gigir Cakrawala
Lelangkah penuh di bentala caya yang redup remang.
Lalu riak riuh jilatan apimu yang terus tergerus
nyanyian ritmis
tarian laron.
Bergegaslah Sebelum gelap meracau
gugus gemintang, petamu
menuju sebenar-benarnya arah pulang.
****
Arloji Tua
Arloji tua itu
Tetap berjalan, mendenting kadang dan
Pertanda, ada yang terlewat.
Gaung sorak sorai, mengepul
Juga bersama asap kretek, cintamu
Yang terkurung di kotak kecil berwarna
“Dari anak haram kemajuan”, kataku,
Mungkin juga katamu, bahwa
Kita sepakat untuk terkurung dan sendiri.
Tapi arloji tua itu
Berjalan tetap, pada janjinya
Dan selalu ada yang terlewat.
Lalu petani pulang, kusam
Legam, dan kita bertatap.
“Apa yang sebenarnya terjadi”, tanyamu
Pada kebisingan masing-masing, tawa
Kedustaan pada dirimu yang asing.
Detik dan luang telah lewat dan terbayar
“Mari pulang”. Sebelum kita
Benar-benar lalai, lalu dipaksa
Pulang. Sebelum arloji tua jumpa
Pada titik penghianatannya
Pada janji dan kita.”Mari pulang”.
***
Doa
“Kebisingan langit, kebisingan bumi, memekik
Gelombang sukma, gelombang di dada, buncahlah.”
Lalu hujan
Penuhi kubangan
Gersang dan penggalan doa diguyur
Mimpi-mimpi yang tersesat
Masuki labirin yang penuh dadu
Sedang apakah kita?
Mencari keberuntungan
Atau membeli takdirkah?
***
Dzulhijjah
Gemigil dada yang tumpah
dibawah rindang pohon akasia
ketika langit menggema dan
remang diam dihujani tuah
semerbak, seperti perkawinan
bunga-bunga dalam cerita
“aku di sini, kemarilah, biarkan
dahagamu…”
yang terperih disebabkan sisa kekangan bangkai serigala
perih yang disebabkan sandiwara detik yang merahasia
perih yang disebabkan silau warna nampak seperti indah
“…digerus
cawanmu, dan luka berdarahmu
dibasuh.”
***