(Catatan remeh-temeh seputar ulang tahun ke-6 jejaring duniasantri)
Tujuh hari setelah gegap gempita perayaan 6 tahun jejaring duniasantri di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, saya masih diliputi rasa bangga yang tak tertahankan.

Bagaimana tidak? Acara yang dihadiri tokoh-tokoh nasional itu sukses besar. Dari Malam Panggung Seni Santri, Sarasehan Pancasila yang panas dan dihadiri para petinggi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), semuanya benar-benar membuat saya terkesima. Belum lagi workshop penulisan kreatif dan jurnalistik yang memantik semangat berkarya di kalangan santri. Ini terbukti dari banjirnya puisi, cerpen, esai, dan laporan jurnalistik di portal duniasantri.co.
Keberhasilan ini tentu patut diacungi jempol. Namun, di balik euforia itu, ada satu pikiran fundamental yang terus mengusik: sejauh mana pemahaman dan praktik nilai-nilai Pancasila di kalangan santri?
Pertanyaan itu terus membesar, berkembang menjadi, “Apa rencana jejaring duniasantri untuk mengembangkan santri agar lebih mendalami dan mengamalkan nilai-nilai kebersamaan?”
Sebagai seorang penulis yang tak punya kapasitas struktural, saya merasa pertanyaan ini amat penting. Saya harus mendapatkan jawaban. Tanpa basa-basi, saya langsung menghubungi sang pemantik api itu sendiri: Pemimpin redaksi merangkap ketua yayasan jejaring duniasantri, Mukhlisin.
Sialnya, alih-alih mendapatkan jawaban, saya malah mendapat pesan yang jauh dari ekspektasi. Begitu sambungan telepon terhubung, Mas Mukhlisin bukannya menjawab, malah mengirimkan deretan foto-foto dan lokasi GPS.
“Aduh, Mas Mahwi,” suaranya renyah di seberang sana. “Bisakah hal itu kita bicarakan setelah kita di Depok, di tempat kita biasa berkelakar? Saya lagi sama Albi dan teman-teman panitia dalam perjalanan ke Wonosalam, kami mau kulineran.”
Sial. Setengah menyesal, saya merutuk. Kenapa saya pulang duluan? Nama Wonosalam seketika memicu narasi lain di kepala: sejarah masyayikh, Candi Arimbi, hingga kerukunan dalam keberagaman yang tercermin dari komunitas Hindu dan Muslim di sana.
Tunggu dulu. Saya harus kembali fokus. Tujuan awal saya adalah mendapatkan jawaban, bukan mengembara di ingatan sejarah. Tapi, ah, sayangnya, Mukhlisin tak kunjung menjawab. Ia tampak seperti anggota DPR yang tak menemui rakyatnya saat berunjuk rasa. Bedanya, kalau anggota DPR menunjukkan goyangan bin joget-jogetan, Mukhlisin, seusai menjawab singkat tentang adanya candi dan keberagaman di Wonosalam, mengalihkan fokus pada keasyikan menikmati Wonosalam yang indah.
Mukhlisin, yang seharusnya menjelaskan hal itu, malah asyik mengabarkan bahwa durian tidak ada karena “kemaleman”—sebuah “tragedi nasional” yang tidak kalah penting dari ketidakmunculan anggota dewan saat rakyat berunjuk rasa atas kebijakan aneh dan kenaikan tunjangan yang fantastis.
Sebagai ganti, mereka memutuskan bermain kartu uno dan gaple. Sungguh, sebuah ironi. Mahjong yang dibawa Albi bahkan tidak jadi dimainkan, karena Albi, yang terbilang Gen-Z itu, tidak ngotot tetap bermain kartu uno. Ia lebih memaklumi sang tamu yang malam itu menjadi minoritas di antara generasi-generasi Gen-Z. Akhirnya, diputuskan untuk bermain gaple. Jadul amat, ya.
Sebagai santri, Albi tentu memahami betul kaidah adab, yaitu bagaimana menjaga etika di hadapan orang yang lebih tua. Ia sadar Mukhlisin tidak akan bisa mengikuti irama permainan yang lebih banyak dimainkan Gen-Z.
Sikapnya itu sejalan dengan salah satu kaidah dalam tradisi pesantren yang berakar pada hadis Nabi, “Laysa minna man lam yarham shagirana wa yuwaqqir kabirana.” (Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang lebih tua—HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Albi dan kawan-kawan memilih memuliakan Mukhlisin, dan itulah yang membuat permainan gaple terasa lebih meriah dari sekadar makan durian.
Di hari berikutnya, pesan lain masuk. Mukhlisin mengabarkan bahwa Albi datang membawa oleh-oleh kacang tanah, kacang asin, jagung marning, dan kacang polo. Bagi masyarakat Jawa, pemberian sederhana ini adalah cerminan dari kearifan lokal yang mengajarkan bagaimana membahagiakan tamu dengan segala yang dimiliki. Tamu adalah raja, dan perlakuan Albi kepada Mukhlisin adalah bukti nyata.
Ah, andai saja anggota dewan kita mau belajar adab dari santri seperti Albi. Mungkin, mereka tak akan pernah absen saat “raja” mereka—rakyat yang menggelar unjuk rasa—membutuhkan jawaban. Para santri itu justru akan membawakan nasi pecel agar para anggota dewan belajar bagaimana aneka dedaunan dan kacang tidak berebut rasa, sehingga tercipta keseimbangan dan kebijakan yang nikmat.
Dengan sepenuh hati, tuan rumah akan menyuguhkan apa yang ada di depan mata. Hal ini kian terasa ketika di hari terakhir, saya mendapat kabar lagi, kali ini dari Rara, sang ketua panitia, membawa sarapan nasi pecel. Hidangan sederhana yang sarat akan kehangatan dan ketulusan, sebuah penutup yang sempurna untuk perjalanan yang, meskipun tidak menjawab pertanyaan saya, justru memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang arti sebuah persahabatan dan keramahtamahan.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang nilai-nilai Pancasila itu tetap menggantung. Terjawab sudah, bahwa pertanyaan filosofis akan selalu kalah telak oleh kenangan nasi pecel yang hangat, marning yang kemeriuk renyah, atau oleh keseruan bermain gaple. Mungkin, itulah makna sesungguhnya dari jejaring duniasantri. Bukan tentang struktur formal, tapi tentang menjalin kekerabatan yang kuat, bahkan ketika pertanyaan paling serius pun hanya berujung pada cerita Wonosalam.
“Bagaimana kalau kita bikin workshop penulisan dengan tema ‘Membumikan Nilai-Nilai Pancasila di Kalangan Santri’?” Pertanyaan itu tiba-tiba datang saat saya sedang terdistraksi oleh adanya unjuk rasa yang kecewa dengan perilaku “lucu bin ajaib” pejabat negeri ini, khususnya anggota DPR (25-29 Agustus 2025 ). Unjuk rasa itu berujung dengan perusakan fasilitas umum dan penjarahan.
“Bagaimana, Kiai?” desak Mukhlisin. “Saya sudah di Depok,” ia menegaskan setelah sekian pesannya tidak saya balas.
“Saya lagi malas,” jawab saya singkat.
“Kenapa?”
“Saya hanya ingin nasi jagung dan kacang-kacangan dari Jombang dengan keberagaman bumbu yang dapat menyatukan semua rasa.”
“Seleramu pancasilais banget,” komentar Mukhlisin, bercanda.
“Sejak lahir dan menjadi santri saya sudah pancasilais. Indomie, tempe, nasi putih, dan nasi jagung, dan terasi bisa kami nikmati sekaligus tanpa memisahkan.” Saya membalas dengan senyum getir.
“Bagaimana kalau kita bikin lomba penulisan esai dengan tema tadi?” desak Mukhlisin.
“Membumikan Nilai-Nilai Pancasila?”
“Iya,” jawabnya.
“Kalau begitu kita mesti ketemu dengan Ibu Irene dulu,” jawabku bersemangat.
“Oke. Kalau begitu, saya komunikasikan dengan beliau.”
“Jangan lupa, saat bertemu beliau bawa aneka ragam kuliner Nusantara,” pesanku.
“Untuk apa?”
“Untuk disatukan menjadi satu rasa dalam perjamuan kebangsaan,” selorohku sambil tertawa. “Dan jangan cari durian di Depok, soalnya di sini tidak ada pohon durian, adanya pohon beton.”
Depok Terluar, September 2025.
Saya malah salfok sama buah duriannya, yang lain mah dah biasa, wkwkwkkkk,,,