Fikih Lama Versus Fikih Baru

Fikih, sebagai hasil ijtihad manusia terhadap wahyu, adalah bukti bahwa Islam tidak pernah berhenti berdialog dengan zaman. Justru, oleh sifatnya yang ijtihadiyah, fikih selalu memiliki ruang untuk diperbarui, agar mampu menghadapi persoalan baru yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa lalu. Namun, di balik keterbukaan itu terdapat syarat yang tidak bisa diabaikan: pembaruan fikih hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang menguasai fikih lama.

Mengapa demikian? Fikih lama adalah fondasi. Ia menyimpan khazanah intelektual yang sangat kaya, mulai dari kitab-kitab klasik, kaidah ushul fikih, hingga qawaid fiqhiyyah. Menguasai semua ini bukan sekadar hafalan, melainkan memahami cara berpikir para ulama dalam menimbang maslahat dan mudarat, dalam menyeimbangkan teks dan konteks.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Jika kita membaca kitab-kitab fikih dari periode ke periode, sesungguhnya selalu ada hal baru dalam fatwa hukum. Hal ini wajar karena problematika, tantangan, dan realitas yang dihadapi ulama di setiap masa berbeda. Hanya orang yang kurang jeli membaca yang berpendapat bahwa kitab-kitab fikih stagnan, jumud, dan beku.

Biasanya, anggapan seperti itu muncul karena beberapa hal. Pertama, tidak bisa membaca bahasa Arab. Kedua, tidak memiliki akses terhadap kitab. Ketiga, semangatnya tinggi tetapi kemampuan intelektualnya tidak memadai untuk menjangkau kedalaman fikih. Padahal, jika ditelaah lebih serius, kitab-kitab itu justru menunjukkan dinamika dan kreativitas ijtihad yang sangat kaya.

Penting pula untuk menekankan bahwa menyusun fikih baru bukan berarti merusak tatanan fikih lama. Fikih lama adalah warisan metodologi dan prinsip, sementara fikih baru adalah upaya menghidupkan warisan itu dalam konteks yang berbeda.

Menyusun fikih baru tanpa merusak tatanan fikih lama berarti menjaga kesinambungan intelektual: tidak menafikan capaian ulama terdahulu, tetapi juga tidak membeku di dalamnya. Dengan kata lain, fikih baru berdiri di atas fondasi lama, melanjutkan bangunan yang sudah ada, bukan merobohkannya. Dengan cara inilah fikih tetap kokoh sekaligus relevan.

Kita dapat melihat relevansi prinsip ini dalam berbagai kasus modern. Dunia keuangan, misalnya, menghadirkan layanan dompet digital dan paylater. Ulama yang menguasai bab jual beli dan qardh mampu menilai: dompet digital pada dasarnya halal karena hanya media transaksi, tetapi paylater berbunga tetap haram karena mengandung riba.

Begitu pula dalam ranah medis, misalnya, teknologi bayi tabung. Dengan merujuk pada prinsip menjaga nasab, ulama merumuskan hukum: bayi tabung dengan sperma dan ovum pasangan sah diperbolehkan, sementara donor pihak ketiga dilarang.

Contoh-contoh itu menunjukkan alur yang konsisten: masalah baru muncul, lalu dikaji melalui rujukan fikih lama, kemudian lahirlah fikih baru yang relevan. Inilah cara Islam menjaga keberlanjutan tradisinya tanpa kehilangan kemampuan beradaptasi. Fikih lama menjadi jangkar, sementara fikih baru adalah layar yang memungkinkan kapal bernama umat Islam berlayar di lautan zaman yang terus berubah.

Dengan demikian, pembaruan fikih bukanlah sekadar tuntutan, melainkan sebuah keniscayaan. Namun, ia hanya bisa dilakukan dengan sikap rendah hati terhadap warisan klasik. Siapa yang menguasai fikih lama, dialah yang berhak melahirkan fikih baru. Dan siapa yang menyusun fikih baru tanpa merusak tatanan lama, dialah yang mampu menjaga kontinuitas dan relevansi hukum Islam.

Dengan cara inilah fikih akan tetap hidup: setia pada prinsip, lentur menghadapi perubahan, dan selalu membumi di setiap zaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan