Perdebatan soal boleh tidaknya perempuan bepergian tanpa mahram seringkali terdengar kaku, seakan-akan hidup ini hanya berjalan di atas teks belaka. Padahal, realitas di sekitar kita berteriak sebaliknya.
Ribuan perempuan setiap hari meninggalkan rumah—mereka kuliah di kota lain, bekerja di pabrik, menjadi perawat, atau merantau ke luar negeri sebagai tenaga kerja—dan tidak mungkin semuanya selalu ditemani mahram. Mengabaikan kenyataan ini berarti memenjarakan fikih di masa lalu.

Memang, hadis Nabi SAW secara eksplisit melarang perempuan bepergian dalam jarak yang dianggap safar (dalam berbagai redaksi disebutkan satu hari satu malam, atau tiga hari) tanpa mahram. Di masa klasik, ulama memandang ini sebagai perlindungan mutlak. Perjalanan di padang pasir dipenuhi bahaya fisik, perampok, dan kesulitan logistik, sehingga syarat mahram dianggap sebagai penjamin keamanan jiwa dan kehormatan (‘illat utama). Kedalaman pemahaman ini terlihat ketika Imam al-Syafi’i memasukkan syarat mahram bahkan dalam rukun haji bagi perempuan (al-hawi kabir).
Namun, sejarah intelektual Islam tidaklah monolitik (seragam). Ulama klasik seperti Ibn Daqiq al-‘Id, salah seorang imam dari mazhab Maliki, menekankan bahwa inti larangan bukanlah sekadar fisik mahram itu sendiri, melainkan soal keamanan (al-amn). Jika keamanan terjamin, maka perjalanan perempuan tidak lagi bermasalah.
Juga ada satu pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i yang isinya sama dengan apa yang disampaikan oleh imam Ibn Daqiq al-Id. (muro’atul mafatih syarh misykatul masobih 8/337, Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab 8/342). Ini adalah kunci.
Hari ini, kita hidup di dunia yang sama sekali berbeda. Perempuan bepergian dengan moda transportasi yang terintegrasi (pesawat, kereta cepat, bus antarkota) yang dilengkapi sistem pengawasan, regulasi hukum yang ketat, dan teknologi GPS. Mereka tinggal di asrama modern atau apartemen dengan jaminan keamanan sistemik. Bahkan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri bisa setiap hari berkomunikasi dan diawasi jarak jauh melalui video call. Realitas ini telah menggugurkan ‘illat bahaya fisik yang dominan di abad ke-7.
Memaksakan larangan safar tanpa mahram secara mutlak pada kondisi ini justru menjadi kontraproduktif dan bertentangan dengan Maqashid Syari’ah. Jika perempuan harus kehilangan kesempatan kuliah, terhambat dalam mencari nafkah (yang merupakan hifzh al-nafs—menjaga jiwa), atau terhalang menjalankan amanah dakwah hanya karena ketiadaan mahram, maka fikih telah menutup pintu maslahat yang dibawa oleh Islam. Inilah mengapa ulama kontemporer seperti Dar al-Ifta’ Mesir sepakat: perempuan boleh bepergian tanpa mahram selama keamanan terjamin.
Fikih yang hidup adalah fikih yang berani berdialog dengan kenyataan. Membolehkan perempuan bepergian tanpa mahram di era modern bukanlah bentuk penolakan terhadap hadis, melainkan aksi nyata menyalakan ruh hadis tersebut: memastikan keselamatan (hifzh al-nafs) dan martabat (hifzh al-‘irdh) manusia.
Pada akhirnya, agama ini tidak hadir untuk menahan langkah menuju kebaikan, melainkan memastikan setiap langkah yang ditempuh berada dalam bingkai keselamatan dan maslahat.
