Tak terasa, tadi malam menjadi malam yang begitu panjang. Waktu maju-mundur begitu liar. Mundur ke masa lampau yang begitu jauh. Lalu bergerak maju, sampai ke masa-masa setelah kini, untuk melacak jejak dan pesan yang sambung-menyambung.
Meja persegi panjang itu pun begitu riuh ketika jejak dan pesan-pesan tumpah di sana. Rupanya, duduk melingkari meja persegi panjang itu, bukan hanya kami berempat: Jamal D Rahman, Mahwi Air Tawar, Chandra Wijaya, dan saya. Para guru dari banyak waktu rupanya tak membiarkan kami mengobrol sendirian. Mereka ikut memenuhi ruang-ruang obrolan kami.

Obrolan yang membuat malam terasa menjadi begitu panjang itu bermula dari mimpi. Terpantik dari beberapa mimpi yang saya alami.
Tadi malam itu, sesungguhnya niat kami hanya mengobrol secara random. Sehari sebelumnya, saya bilang ke Mahwi Air Tawar, saya ingin mengobrol dengan Jamal D Rahman. Selama ini saya belum pernah mengobrol secara intim dengannya. Akhirnya kami bersepakat untuk silaturahmi ke rumah Kang Jamal, sapaan sastrawan sohor itu. Kami mengajak serta Chandra, teman kongko.
Menjelang maghrib kami sudah berada di rumah Kang Jamal. Obrolan kami dijeda salat maghrib dan makan malam. Benar adanya, obrolan kami memang random. Di antaranya tentang jejaring duniasantri, penulisan di duniasantri, tradisi pesantren, relasi guru-murid di lingkungan pesantren, dan dinamika intelektual orang-orang pesantren dan bangunan spiritualnya.
Di meja itu, Bro Chandra menumpahkan jejak pengembaraan spiritualnya. Tapi yang terngiang-ngiang di telinga Kang Jamal justru nama Gus Dur. “Apa relasinya dengan Gus Dur, karena nama ini yang terngiang di telinga saya?” tanya Kang Jamal.
Bro Chandra tak punya jawaban. Karena penasaran, Kang Jamal mencoba menelisik lewat cerita. Jejak-jejak dari masa lalu. Cerita akhirnya meluncur deras. Mulai dari perjalanannya ke Pesantren Cipasung sampai ke Tebuireng, mulai dari ziarah ke makam KH Ilyas Ruhiat hingga ke makam Gus Dur.
Kang Jamal akhirnya tersenyum. Ia sudah menangkap jejak dan pesannya: di dua tempat itu ada jejak Gus Dur; jejak Gus Dur berjuang mempertahankan eksistensi Nahdhatul Ulama (NU) dari kooptasi Orde Baru. Dan dua tokoh ini, Kiai Ilyas Ruhiat dan Gus Dur, menjadi simbol kekuatan Nahdlatul Ulama (NU) kontemporer. Role model bagaimana mengelola organisasi seperti NU.
Waktu kemudian bergerak mundur ketika beberapa mimpi yang pernah saya alami tumpah di meja persegi panjang itu. Sesekali mimpi bertemu kiai di mana saya pernah mondok, KH Muzakki Syah. Sesekali mimpi bertemu kiai yang bahkan saya belum pernah bertemu langsung dan tak pernah punya relasi apa pun. Misalnya, pernah dua kali saya mimpi bertemu dengan KH Marzuki Mustamar. Pertama hanya berdua, bertemu di suatu tempat. Yang kedua bertemu di rumah Mbah Moen.
Mimpi-mimpi itu hanya seperti puzzle. Tapi Kang Jamal seperti tak percaya kalau di antara semua tokoh yang hadir dalam mimpi itu tak punya relasi, termasuk relasi dengan yang mengalami mimpi. Maka kami pun berkelana ke abad ke-8 M, masa ketika Ibnu Sirin merekonstruksi dan membangun teori mimpi jauh sebelum Sigmund Freud. Jalan spiritual bisa digunakan untuk melacak dan menangkap jejak dan pesan dari mimpi.
Meja persegi panjang itu kemudian hening. Kami bertawasul kepada semua guru, kepada banyak kiai dari segala zaman. Terbayang, wajah-wajah guru dari masa lalu: dari Mbah Hamid Pasuruan, Mbah Moen Rembang, sampai Kiai Arwani Kudus, dan banyak lagi. Sosok-sosok mereka memenuhi meja persegi panjang yang kami lingkari.
Tabir mimpi mulai terbuka. Sanad keilmuan mulai tersambung meski tetap terlihat samar. Guru menurunkan ilmunya sambung menyambung, dari satu guru ke guru berikutnya. Ketika tabir mimpi itu mulai terbuka, kami tahu bahwa tanggung jawab seorang guru adalah sepanjang waktu, sampai hari akhir tiba. Tanggung jawabnya utuh, tanggung jawab intelektual dan spiritual. Itulah kenapa sosok guru sesekali hadir dalam mimpi kita. Bahkan gurunya guru-guru kita.
Dalam tradisi pesantren, relasi guru-murid tak pernah putus oleh dimensi waktu. Guru-guru kita, bahkan gurunya guru-guru kita, akan tetap merasa punya tanggung moral akan perjalanan hidup murid-muridnya. Ketika mereka hadir dalam mimpi, kita tinggal menangkap pesan-pesannya. Dan pesan-pesan itu juga tumpah di meja persegi panjang itu, ketika kami duduk melingkar dengan khusyuk dan hening, hingga menjelang tengah malam, saatnya kami berpamitan.
