Ada seorang guru yang mendorong saya hingga akhirnya saya benar-benar tenggelam dalam dunia kewartawanan. Namanya: A Nizar Hasyim.
Saat itu, di tahun-tahun akhir masa perkuliahan, Pak Nizar, panggilan akrabnya, diangkat sebagai Dekan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam (IAIN) Sunan Ampel Jember —kini berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) KH Ahmad Shiddiq (KHAS). Saat itu, IAIN Sunan Ampel Jember masih menjadi bagian dari IAIN Sunan Ampel Surabaya —kini berubah menjadi UIN Sunan Ampel. Pak Nizar ditugaskan oleh Rektor IAIN Sunan Ampel untuk mengisi kekosongan posisi dekan di Fakultas Tarbiyah IAIN Jember.

Sependek ingatan saya, selain menjadi dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pak Nizar juga mengajar di sebuah perguruan tinggi Islam di daerah Jombang atau Surabaya. Maka, ketika ditugaskan menjadi dekan di Jember, ia tergolong orang baru di lingkungan baru. Sependek ingatan saya lagi, Pak Nizar tidak pernah mengajar di kelas perkuliahan saya. Tapi karena keterlibatan saya di kepengurusan senat mahasiswa dan pers kampus, saya menjadi salah satu mahasiswa yang sangat dekat dengannya. Bahkan saya merasa sering memperoleh perlakuan istimewa.
Selama berada di Jember, Pak Nizar tinggal di salah satu rumah di kompleks Pondok Pesantren Darus Sholah. Sebab, pendiri dan pengasuh Pesantren Darus Sholah, KH Yusuf Muhammad, tak lain adalah kakak iparnya. Istri Pak Nizar, Nyai Hj Nur Ajibah, adalah adik dari KH Yusuf Muhammad, yang masih satu keluarga dengan KH Ahmad Shiddiq. Pak Nizar tinggal di rumah itu lebih sering sendirian. Sebab, istrinya menjadi dosen di Surabaya dan jarang bisa pulang ke Jember.
Saya terbilang sering diajak Pak Nizar untuk menemaninya di rumah tersebut. Tentu, di mata mahasiswa, itu merupakan hal yang istimewa. Anak kos ini sering disuguhi makanan-makanan wah di rumah tersebut. Lebih dari itu, tentu banyak ilmu dan wejangan yang bisa saya santap. Sampai suatu hari, ketika tiba saatnya saya harus mengerjakan skripsi, Pak Nizar mau menjadi pembimbingnya.
