Gus dan Ning dalam Perubahan Internal dan Eksternal Pesantren

508 views

Dalam konteks Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, posisi Gus dan Ning memainkan peran ganda. Pertama, secara internal, ia memikul tuntutan keberlanjutan institusi pesantren. Kedua, secara eksternal, ia terlibat dalam dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya di luar pesantren. Singkatnya, ia memainkan peran intermediary yang menentukan apakah perubahan akan ditempatkan di luar atau di dalam pesantren.

Tulisan ini menjelajahi bagaimana Gus dan Ning terlibat dalam gerak perubahan yang ada di dalam dan di luar pesantren. Perubahan internal pesantren mencakup aspek-aspek seperti perubahan komposisi sosiologis santri, tantangan institusional, dan perubahan kurikulum sebab tuntutan yayasan ataupun pemerintah pusat. Sedangkan perubahan eksternal pesantren adalah dinamika-dinamika sosial seperti pertumbuhan pembangunan di kota tempat pesantren berada, perubahan lanskap tenaga kerja yang dihadapi komunitas pesantren, dan tidak terkecuali juga kemajuan teknologi informasi.

Advertisements

Komunitas pesantren menyebut anak kiai dengan panggilan Gus (laki-laki) atau Ning (perempuan). Dalam bahasa Jawa, kata ‘gus’ dan ‘ning’ mengandung nuansa penghormatan, dan praktik sosio-lingustiknya sedikit-banyak mereplikasi nuansa hubungan feodalistik antara kawula dan ndalem. Hal ini juga yang membuat pesantren sebagai subkultur diasosiasikan sebagai ‘kerajaan kecil’. Figur kiai memegang otoritas tertinggi dan terlingkupi kharisma suci, membuat individu yang berada di bawahnya menaruh hormat nyaris tanpa keraguan.

Sejak hubungan darah memiliki posisi spesial, khususnya melalui predikat sakral yang digariskan oleh sejumlah hadis Nabi dan pendapat ulama, Gus dan Ning menempati posisi sama tak terbantahkannya sebagaimana orang tua mereka di mata santri, pengurus pondok, dan masyarakat sekitar. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya kebarokahan yang dilekatkan pada mereka.

Akan tetapi, Gus dan Ning sebagai agensi sosiologis setidaknya dapat dimengerti dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah anak kiai yang terlahir dengan kepemilikan institusi pesantren. Dengan kata lain, terikat pada kelembagaan tertentu sebagaimana gambaran gus dan ning di atas. Kategori pertama ini terdiri dari gus dan ning yang berasal dari pesantren besar dan pesantren kecil.

Kategori kedua adalah gus dan ning dari kiai dengan pemilikan lahan yang luas, dihormati masyarakat, namun tidak memiliki lembaga pesantren. Aktivitas pengajaran agama atau kepemimpinan di masyarakat dilakukan di surau-surau atau masjid desa. Berbeda dengan dua kategori tersebut yang kemunculannya mungkin identik dengan pergolakan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kategori ketiga adalah gus dan ning sebagai anak dari tokoh lokal yang memiliki kesaktian tertentu. Orang tua mereka biasanya dikultuskan masyarakat setempat sebagai figur ‘babad alas’.

***

Persebaran syiar Islam di Tanah Jawa, terutama pada periode Walisongo sampai kemerdekaan Indonesia, dilakukan melalui pesantren atau melalui individu. Model institusi pesantren pada mulanya adalah produk sinkretis ala padepokan Hindu-Jawa setelah bertemu sentuhan Walisongo. Pesantren berkembang dan berdiaspora di antero Jawa seiring terjadinya perang, pemindahan penduduk, dan faktor lain, baik sebab kisruh antar penguasa lokal maupun sebab dampak kebijakan pembangunan pemerintah kolonial.

Faktor diaspora paling mutakhir yang sampai saat ini masih tergurat jelas adalah diaspora pesantren-pesantren besar di Jawa yang selalu terletak di kota-kota bekas kekuasaan Islam atau kota-kota berfasilitas stasiun. Hipotesis apakah ada keterkaitan antara perkembangan industri gula, kemajuan perkeretapian, dan pesantren pada abad 19 mungkin dapat diulas di lain kesempatan. Tetapi kondisi ini ditemukan di sejumlah pesantren besar seperti Tebuireng, Krapyak, Kaliwungu, Kempek, dan lain-lain.

Baru pada seperempat akhir menjelang millenium 2000, pembangunan pesantren yang lebih kecil dan pembangunan pesantren berbasis yayasan modern mulai menjamur. Hal ini mungkin dapat diidenfikasi sebagai gejala awal upaya pemenuhan meningkatnya kebutuhan religius pasca kemakmuran ekonomi dan modernisasi di era Orde Baru.

Implikasi yang paling menonjol dari dinamika tersebut adalah, terjadinya kontras komposisi kelas ekonomi santri dalam tubuh pesantren. Santri-santri pesantren besar kini banyak berasal dari kalangan kelas menengah atas, mengingat orang tua mereka merupakan alumni pesantren yang telah berhasil meniti tangga mobilitas sosial baik melalui jalur politik, pemerintahan, bisnis, dan lainnya.

Begitu juga dengan pesantren berbasis yayasan modern setelah memperoleh kepercayaan masyarakat kelas menengah urban. Umumnya santri di pesantren modern berasal dari kelompok ekonomi mampu. Potret berbeda terjadi di pesantren kecil yang tumbuh di kota-kota satelit. Orang-orang dari latar ekonomi pra-sejahtera menitipkan anaknya ke pesantren terdekat. Kondisi fasilitas apa adanya tidak menghentikan orang tua wali santri mengharap barokah.

Dari segi kurikulum pengajaran, kitab kuning menjadi pokok materi yang tetap bertahan di pondok pesantren besar sejak era akhir kolonialisme hingga sampai saat ini. Satu hal yang juga tetap bertahan adalah ajaran sikap (attitude) terhadap harta. Di akhir era penjajahan Belanda, keikhlasan dan kepasrahan terhadap hal duniawi menjadi titik sentral bagi ritme kehidupan agraris. Hari ini, sikap tersebut tetap lestari sebagaimana Gus Iqdam, nominee santri awards bidang syiar, mengatakan “harta terbaik adalah keimanan”.

***

Sepanjang 80 tahun terakhir, pesantren telah menghadapi aneka dinamika eksternal, terutama perihal perubahan sosial-ekonomi di Indonesia. Awal mula kemunculan pesantren tidak terpisah dari figur kiai dengan pemilikan lahan yang luas. Sejumlah luas lahan juga dimiliki oleh kiai yang mengajar di surau atau masjid desa, meski ia tidak memiliki pesantren.

Salah satu pergolakan awal yang mereka alami adalah ketika muncul agenda reforma agraria yang didukung oleh kelompok kiri, menuntut adanya pembagian ulang proporsi lahan. Ketika pembantaian 1965 pecah, maka pembangian ulang proporsi lahan ini tidak terjadi, membuat tanah sebagai salah satu modal penting pembangunan institusi pesantren di kemudian hari tetap memadai.

Setelah pasca-kemerdekaan, reorganisasi strata rasial di Indonesia memungkinkan orang-orang pribumi mengisi posisi-posisi strategis. Namun, sejak pesantren telah lama berada pada posisi bawah, maka hanya beberapa perwakilannya mengisi pos-pos strategis terutama di bidang politik-pemerintahan. Bidang agraris masih dominan mengayomi kehidupan pesantren.

Adalah etnis Tionghoa yang berhasil mempertahankan posisinya di sektor niaga dan wirausaha bahkan sampai memegang peran penting di tingkat ekonomi nasional. Posisi etnis Tionghoa yang sejak dulu lekat dengan kegiatan niaga mengalami intensifikasi ketika presiden Soeharto meletakkan pilar ekonomi-politik rezim Orde Baru di atas militer dan elite bisnis Cina.

Salah satu perubahan drastis di Indonesia setelah pondasi Orde Baru mapan adalah, menciutnya inflasi 650% di 1960-an menjadi 6,5% di tahun 1974 dan menjamurnya pembangunan industri dan infratruktur. Pesantren-pesantren besar mau tidak mau terdampak dengan adanya pembangunan kawasan industri di kota tempat mereka berada.

Pada periode yang sama, peningkatan intensitas industrialisasi dan modernisasi semasa rezim Orde Baru juga turut meningkatkan kebutuhan individu dengan kompetensi profesional, terspesialisasi, dan terampil―luaran kompetensi yang tidak bisa diperoleh dari lulusan pesantren masa itu. Ketika ekonomi kota tumbuh, komunitas pesantren kembali ke pedesaan, meneruskan tradisi lama dan profesi yang tersedia.

***

Kekeluargaan dalam dunia pesantren sangat menentukan suksesi institusi. Gus dan Ning masih memainkan peran ini bahkan sampai hari ini. Namun, sejak pengaruh pendidikan modern dan imajinasi global mulai masuk ke komunitas pesantren (setidaknya pada tahun 1980-an, ketika pembangunan dan modal asing mulai memengaruhi kehidupan Indonesia), beban suksesi tersebut melonggar.

Hal ini disebabkan, sejumlah elite pesantren terutama putra-putri kiai ternama mulai ikut mengarungi pendidikan tinggi modern. Dalam konteks nasional, Institute Agama Islam, yang pada 1980-an masih terhubung dengan lingkaran pesantren, juga mulai mengadopsi materi dan model pembelajaran sebagaimana universitas negeri, sehingga tidak hanya timbul imajinasi jenjang karir selain meneruskan pesantren milik orang tua, melainkan juga timbul keterlibatan Gus dan Ning di kehidupan meritokratis dan profesional luar pesantren.

Terutama pada Gus dan Ning generasi kedua (yakni boleh dikatakan generasi setelah generasinya KH Hasyim Asy’ari dkk), kosmopolitanisme dan modernisme menjadi barang baru yang akrab. Secara umum, Gus dan Ning yang berasal dari pesantren besar memiliki peluang suksesi lebih besar, baik di ranah internal maupun eksternal, sebab mapannya modal sosial yang orang tua mereka telah wariskan. Sehingga pada generasi ketiga atau keempat, modal sosial itu telah berkembang terutama dalam bentuk hubungan institusi miliknya dan elit pemerintah tertentu.

Berbeda dengan Gus dan Ning dari pesantren besar, Gus dan Ning yang berasal dari kiai tanpa pemilikan pesantren menghadapi perubahan yang lebih rentan. Ketika pembangunan dan industrialisasi di era Orde Baru memicu urban sprawling, lahan-lahan warisan orang tua mereka terdampak alih-fungsi lahan. Persoalannya, generasi kedua dari Gus dan Ning dalam kategori ini tidak memiliki institusi pesantren yang bisa dikapitalisasi untuk menunjang sumber penghidupan atau mobilitas kelas.

Generasi ketiga dan keempat dari Gus dan Ning dalam kategori ini biasanya mulai kehilangan predikat ‘Gus’- atau ‘Ning’ lantaran persepsi masyarakat tentang predikat ini melekat pada kepemilikan institusi pesantren. Di saat yang sama, ketika Gus dan Ning dari pesantren besar menggapai tangga meritokrasi, Gus dan Ning dari kategori ini perlu perjuangan lebih sebab hanya sektor informal-lah yang mudah digapai semenjak tanah warisan dari orang tua mereka menipis dimakan alih-fungsi lahan untuk industri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan