Habib (jamak: habaib) adalah salah satu gelar identitas yang cukup prestisius di kalangan umat Islam. Habib secara harfiah berarti yang dicintai; kekasih. Ataupun, dalam artian lain, Habib juga berarti keterikatan dalam hal mencintai dan dicintai. Sebab, ia berasal dari kata al hubb dalam Bahasa Arab yang menginterpretasikan makna dari cinta.
Secara terminologis, habib adalah gelar kehormatan yang diampu oleh tokoh-tokoh para keturunan Nabi berdasar silsilah nasab dan jalur biologis. Habib pada awalnya dinobatkan kepada para keturunan Nabi yang tinggal di Yaman (Hadhramaut). Akan tetapi, saat ini para habib juga sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, dengan nenek moyang juga berasal dari Yaman.
Habib, sebagaimana sering kita ketahui, merupakan sosok yang secara teguh memegang nilai-nilai Islam dengan cara berdakwah kepada umat. Seorang habib memanggul tanggung jawab besar berupa komitmen dan tata norma terhadap ajaran agama. Karena, selain menjadi kewajiban sebagai seorang muslim, para habib juga menjadi pewaris darah Nabi, secara biologis di dalam jasad tubuh mereka. Sehingga, selayaknyalah para habib menjaga kemuliaan ruh dan nur Nabi dengan bertindak sebagaimana akhlak Nabi.
Dari pemaparan sederhana tersebut, setidaknya dapat ditarik dalam dua bilik dimensi dari identitas seorang yang bergelar habib. Pertama, seorang habib adalah sosok yang mempunyai otoritas nasab/keturunan yang bersambung kepada Nabi melalui jalur biologis. Sedangkan, yang kedua, seorang habib adalah sosok yang mempunyai otoritas untuk menjaga kemuliaan ruh, nur, warisan ilmu, akhlak, dsb dari Nabi.
Mudahnya, apabila kita menilik dari dimensi kedua, maka siapa pun umat Islam yang berniat memperdalam Islam, menjunjung sunnah-sunnah Nabi, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka ia adalah seorang habib.
Habib dalam ranah definisi kedua ini bukanlah suatu identitas yang dimiliki beberapa kalangan khusus, namun universal dimiliki umat Islam. Karena umat Islam seharusnya memang menjadi sosok representatif untuk ajaran-ajaran rahmat dari Nabi. Sebagaimana makna asal dari kata habib, yakni mencintai (sesama) dan dicintai (Allah dan Nabi).
Habib dalam dimensi kedua bukan mengajarkan kita untuk meninggikan diri karena sebuah disklaimer semata. Namun, sematan habib di sini malah memberikan konsekuensi moral bagi kita sebagai umat Islam, karena kita dituntut untuk bertindak sebagaimana tindak-tanduk Nabi yang sangat mulia. Serta dalam hal ini, kita berkewajiban menjaga sisa-sisa nur kenabian yang diwariskan kepada orang tua dan guru-guru kita melalui ilmu dan teladan Nabi.
Tentunya, kita yang sudah jauh berabad-abad dengan Nabi, dapat terus menunjukkan citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sehingga, apabila kita sebagai seorang muslim keluar dari garis yang tidak merepresentasikan akhlak Nabi, maka tanggung jawab dalam mengemban misi pewaris ajaran Nabi perlu dipertanyakan. Allahumma Sholli ‘ala Sayyidina Muhammad.
Wallahu A’lam.
Bagaimana menurut analisis Sampeyan, seseorang yang diberi gelar habib, tetapi tindak tanduknya tidak mencerminkan akhlak Nabi? Selalu membikin kegaduhan dan keributan, berkata kasar, dan menghina bahkan berbuat tafkiri terhadap orang lain? Hee,,, saporana…
Secara dzohir, mungkin kami yang faqir hanya bisa menilainya sebagai tindakan yang tidak representatif terhadap apa yang sudah dicontohkan Nabi SAW. Namun pasti ada nilai-nilai yang dapat kita ambil dari berbagai kenyataan tersebut. Dan dalam ranah yang lebih serius, yakni terkait justifikasi Habib sebagai seorang hamba, Wallahu A’lam. 🙏