Cahaya mentari menerobos celah dedaunan. Angin berembus semilir. Pak Rahmat menggiring bebek-bebeknya ke sawahnya. Kali ini para pekerjanya diliburkan. Ia ingin bernostalgia dengan masa lalunya. Semua bebek digiring ke sawah bekas tanaman padi.
Ada yang seorang bocah yang tak asing wajahnya sedang berjalan menghampirinya dengan langkah kecil.
“Pak Lik, lagi angon bebek?”
“Iya, Nak. Siapa namamu? Sedang apa di sini?”
“Namaku Fikri. Aku sedang menemani ibuku, mengais sisa padi. Pak Lik tidak kesulitan angon bebek sebanyak ini?”
“Tidak, Nak, aku sudah terbiasa.”
“Tidak membutuhkan pekerja?”
“Sudah ada, namun kuliburkan hari ini. Kamu tidak bersekolah, Fik?”
“Tidak, Pak Lik, beras ibu sedang habis. Ini tadi aku disuruh membantu ibu untuk mencari padi untuk dimasak lusa. Apa Pak Lik tidak butuh bantuan untuk angon bebek? Aku bisa membantu.”
Pak Rahmat menangkap isyarat derita kelaparan dari pertanyaan itu. Ia kemudian menyerahkan bebek-bebek yang sedang asyik menyosori lumpur untuk mencari kecebong dan serangga yang ada di dalam lumpur.
“Baiklah, coba hari ini kamu tunggu bebek-bebek ini. Aku mau pulang sebentar.”
“Baik Pak Lik.”
Pak Rahmat pulang ke rumah untuk mengambil tiga bungkus nasi buat sarapan. Pak Rahmat meninta istinya untuk menyiapkan tiga bungkus nasi tersebut.
“Tumben Pak kamu bawa tiga bungkus. Apa Yono dan Toyo tidak jadi libur?”
“Aku bertemu Fikri dan ibunya sedang mengais padi di sawah. Katanya ayahnya dulu bekerja di Jakarta.”
“Saya dengar dari tetangga ayahnya meninggal terkena Corona beberapa minggu yang lalu. Semenjak itu Nuha bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya.”
“Nanti coba saya menemui Mbah Usup untuk menghadap Bu Kades untuk mengusulkan dapat BLT.”
Setelah usai menyiapkan kiriman untuk dirinya, Fikri, dan Bu Nuha, Pak Rahmat mengayunkan kakinya kembali ke sawah untuk menemui Fikri yang sedang mengangon bebek-bebeknya.