Sampai dengan dekade 1970-an, perekonomian dunia masih didominasi teori Keynesian, terutama di Amerika Serikat. Menghadapi perekonomian yang stagnan atau terkontraksi, maka pemerintah harus meningkatkan pengeluaran dan menurunkan tarif pajak. Dengan begitu, diasumsikan akan ada peningkatan permintaan agregat yang kemudian bisa merangsang pertumbuhan ekonomi.
Pada 1974, ekonom Arthur Laffer datang dengan perspektif baru. Itu pertumbuhan semu. Dari perspektifnya ia melihat, saat itu perekonomian tidak tumbuh bukan karena permintaan kurang, tapi lebih karena didorong oleh beban pajak yang telah terlalu tinggi. Laffer kemudian menyodorkan teori baru tentang “keseimbangan pajak” yang kemudian dikenal dengan istilah Kurva Laffer.
Sepintas, teorinya seperti sebuah paradoks: dengan pajak yang terlalu tinggi, pendapatan negara justru akan menurun. Sebab, dunia usaha akan tercekik oleh beban pajak yang terlalu tinggi. Dalam kondisi seperti ini, orang tak mau berproduksi dan bekerja. Di titik berseberangan, jika pajak terlalu rendah, negara tak akan memperoleh pendapatan yang cukup untuk membiayai dirinya sendiri. Negara akan lemah.
Maka disodorkanlah Kurva Laffer, titik ideal untuk pajak. Pajak pada titik idealnya akan membuka ruang bagi negara memperoleh pendapatan optimal dengan tetap menyediakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Dengan demikian, perekonomian akan bisa tumbuh berkelanjutan.
Yang menarik, sang ekonom Amerika Serikat ini, Arthur Laffer, mengakui bahwa yang dia bawa bukan teori baru. Teori itu telah dicetuskan oleh filsof sosial yang hidup pada abad ke-14: Ibnu Khaldun! Ia hidup pada senjakala keemasan dunia Muslim, dan telah mengamati jatuh bangunnya banyak dinasti, kerajaan, atau pemerintahan kekhalifahan.