Islam dan multikultural (-isme). Dua terma yang hendak kita perbincangkan. Pembahasan eksplisit kedua terma (dengan konjungsi dan) seolah menunjukkan diferensiasi eksisitensionalis: bahwa keberadaan agama Islam dalam konteks keberagaman membutuhkan konsep multikultural. Agama Islam di Indonesia misalnya, sebelum masuk, seolah membutuhkan konstruksi konsep relevansi sosial terhadap karakteristik yang majemuk agar mudah diterima.
Padahal konsep keislaman tidaklah demikian. Islam dan multikultural adalah satu-kesatuan yang memuat hubungan afielatif secara mendasar. Rasulullah Saw. sebagai patron model keislaman, di mana awal mula Islam diembankan tuhan kepadanya, diabadikan secara literal dalam nash Al-Qur’an (Surah Al-Anbiyaa: 107) bahwa, entitas kerasulan tidak akan pernah terwujud kecuali membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Islam tidak perlu membangun lagi konsep multikultural hanya mengejar metodologi dakwah yang sesuai dengan karateristik ruang lokal. Esensi keagamannya memang mengandung konsep demikian sebagai manifestasi dari keberagaman. Sejak awal Islam memandang manusia sebagai individu yang bebas (dalam mengabstraksi pola dan kategori), otonom dan hidup dalam kecenderungan-kecenderungan. Islam mengakui itu dengan representatif rahmatan lil ‘alamin. Simplifikasi secara kolektif dengan menempatkan manusia pada taraf dan porsi yang sama sangat bertentangan dengan konsep keislaman dan konsep dasar kemanusiaan.
Namun, kompleksitas permasalahan rasisme peran, hierarki kekuasaan dan ketimpangan sosial yang berimplikasi pada konflik sosial dan bentrok antar sesama kembali menguji konsistensi Islam di tengah kecamuk kepentingan itu. Ada pergeraseran orientasi nilai, di mana multikultural yang dahulunya sebagai konsep dasar terpaksa dituangkan dalam bentuk pendidikan. Ketika konflik perbedaan sudah dalam taraf yang akut, transformasi nilai multikultural sudah saatnya dibumikan dengan pola pendidikan. Dalam taraf ini, metodologi doktrinal menjadi jalan yang legal karena dianggap berorientasikan kemaslahatan.
Epistimologi dari konsep multikulturalisme sebenarnya adalah sebuah ideologi yang menempatkan manusia dalam wahana makhluk yang beradab dan berderajat. Konsep ini adalah bentuk pengakuan terhadap entitas kemanusiaan (individual, otonom dan berkecenderungan) sebagai makhluk tuhan. Istilah multikultural pertama kali diperkenalkan di Kanada sekitar tahun 1920 sebagai sinonim dari kata pluralis untuk menjukkan masyarakat yang majemuk. Dalam wacana Al-Qur’an dasar epistemologis multikulturalisme adalah kemuliaan manusia, yang darinya muncul seperangkat hak asasi yang harus dihormati dan dilindungi dan merupakan fondasi etis bagi multikulturalisme (Pendidikan Multikulturalisme dalam Islam, Suluri)