Istilah Islam Nusantara kali pertama viral dan debatable di masyarakat Indoensia semenjak Nahdlatul Ulama (NU) menggunakannya sebagai tema besar Muktamar ke-33 di Jombang pada Agustus 2015, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indoneisa dan Dunia”. Sontak, tema yang sebenarnya biasa-biasa itu tiba-tiba menjadi istilah baru, memantik perdebatan. Ada bersifat ilmiah, politis, dan emosional.
Sampai hari ini, masih banyak yang mempertanyakan ulang eksistensi Islam Nusantara. Misalnya, akankah Islam Nusantara merupakan agama baru yang lahir di Nusantara? Atau, Islam Nusantara sejenis mazhab fikih maupun tasawuf yang dianut oleh orang Nusantara? Atau, Islam yang tersebar di Nusantara dan berkembang melalui local wisdom ala Nusantara sehingga Islam dan Nusantara menjadi idiom khas yang mencerminkan keislaman di tanah Jawa?
Muncul juga pertanyaan-pertanyaan kritis tanpa landasan yang semakin memperunyam persoalan disebabkan munculnya “nomenklatur” tersebut. Tidak salah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan para kiai di Tanah Air bergandengan tangan, bahu-membahu saling menguatkan posisi Islam Nusanatara dengan dalil, fakta historis, dan argumentasi rasional berdasarkan fakta empiris yang sudah ada.
Kendati demikian, istilah Islam Nusantara tidak lain adalah wujud nyata pergulatan asimilatif budaya lokal di Nusantara dengan Islam yang masuk ke Nusantara, sehingga integrasi nilai Islam dengan budaya menyatu dengan masifnya fenomena ritual keagamaan yang sangat mengakar. Misalnya, tahlilan, rebowekasan, taysakuran, mitoni, tingkepan, dan sederet ritual agama yang sarat budaya lokal. Pun, tidak salah bahwa Islam Nusantara merupakan hasil konkret interaksi, kontekstualisasi, interpretasi, dan internalisasi nilai-nilai Islam yang universal yang sesuai dengan realita sosial masyarakat setempat.
Menyikapi isu liar tentang Islam Nusantara ini, maka tidak heran dalam berbagai kesempatan, Prof Dr KH Said Aqil Sirajd, Ketua Umum PB NU, dengan tegas dan jelas menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang menggabungkan agama Islam dengan budaya seperti halnya Islam bersatu-padu dengan semangat nasionalisme, Islam bersatu dengan spirit kebangsaan, sehingga melahirkan Hubbul Wathon Minal Iman yang digagas Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ariy. Puncak dari hadirnya Islam Nusantara adalah penggabungan Islam dan kebangsaan. Jadi, Islam Nusantara bukanlah mazhab baru, bukan aliran teologi seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Syi’ah, atau Jabariyah. Tetapi, Islam Nusantara tidak lain adalah tipologi, karakteristik, khasais yang melekat di Nusantara.