Akhir-akhir ini istrilah Islam radikal cukup sering kita dengar. Untuk memudahkan dalam memahaminya, perlu kita membaginya menjadi dua bagian, yakni islam dan radikal. Islam sendiri memiliki makna salima yang artinya selamat. Dari kata tersebut terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Juga terdapat derivasi makna yang lain, seperti istislam yang berarti berserah diri, saliiim yang bermakna suci atau bersih, dan salm yang bermakna perdamaian. Diketahui dari berbagai makna tersebut, Islam menyimpan makna positif.
Sedangkan, perihal radikal, secara etimologi, istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan, dan amat keras untuk menuntut perubahan.
Dalam catatan Yusuf Qardhawi, dijelaskan bahwa radikalisme atau dalam bahasa Arab disebut tatharruf ialah berdiri di tepi yang jauh dari tengah-tengah Kemudian, dalam literatur klasik Islam, istilah radikalisme distilahkan ghulwu (kelewat batas), tanatthu’ (merasa pintar sendiri), dan tasydid (mempersulit) (Qardhawi, 1989).
Sementara, Sartono Kartodirdjo mengartikan radikalisme sebagai gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib dan tatanan sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa dan yang berkuasa (Kartodirjo: 1985).
Dalam konteks Islam, paham radikal ini biasanya diisi oleh pengikut yang fanatik serta menyakini ideologinya sebagai kebenaran yang absolut dan menutup mata serta telinga terhadap ideologi yang lain. Juga intoleran ekslusif serta sikap tekstualis atas pembacaannya terhadap naskh-naskh Islam yang menolak membaca konteks historisnya. Aktualisasi atas ide-idenya pun banyak meresahkan masyarakat. Pasalnya, mereka seringkali menggunakan kekerasan verbal seperti perusakan juga kekerasan nonverbal seperti mengolok-olok kafir, bidah, dan lain sebagainya terhadap masyarakat yang memiliki pemikiran serta tindakan yang berbeda.
Pemaknaan dalam konteks wacana keagamaan di Indonesia, paham radikal disebut sebagai ketidakpuasaan atas realitas dan ingin merombak realitas dari berbagai sisi, khususnya realitas sosial, politik, dan ekonomi dengan tindak kekerasan baik verbal maupun nonverbal. Singkatnya, Islam radikal yang ada di Indonesia ingin merombak realitas yang ada, seperti ideologi negara, tatanan sosial, sistem politik-ekonomi, dan lain sebagainya menurut penafsiran mereka secara kaffah.
Merujuk lagi pada Yusuf Qardhawi, disebutkan bahwa karakteristik dari paham radikal yang dianggap menyimpang dari kebiasaan bangsa ialah, pertama, fanatik terhadap satu pendapat. Kedua, paham radikal selalu mempersulit segala sesuatu yang sebenarnya mudah. Ketiga, menempatkan sesuatu tidak disesuaikan dengan konteks zaman dan tempat. Keempat, bertindak kasar dalam berkomunikasi dan berdakwah terhadap sesama manusia. Kelima, setiap orang yang berada di kelompok lain dipandang buruk. Keenam, puncaknya ialah selalu mengkafirkan orang lain (Qardhawi, 1989).
Jika kedua nomenklatur tersebut disatukan, yaitu antara Islam dan radikal, akan menemui kontradiksi. Yakni, Islam yang bermakna positif, sedangkan Radikal bermakna negatif. Pasalnya para radikalis ini tidak mencitrakan Islam secara positif, melainkan negatif. Tidak berislam secara ramah, namun marah-marah. Maka dari itu, paham Islam radikal perlu jinakkan, dilawan, dan diberangus, namun dengan menggunakan cara-cara yang berbeda dari kaum radikalis.
Islam Nusantara Vs Paham Radikal
Dengan muncul dan berkembangnya paham Islam radikal di Indonesia secara otomatis bermunculan pula gagasan-gagasan yang berusaha menangkalnya. Atau dalam istilah filsafat, Islam radikal menjadi tesis, lalu muncul antitesisnya, yakni Islam moderat. Namun, bagaimanakah Islam moderat itu?
Singkatnya, Islam moderat ialah Islam yang berwajah ramah, bukan Islam yang marah. Islam moderat yang dikenal di Indonesia lazim dikenal dengan istilah Islam Nusantara, yakni Islam ala Indonesia. Di mana perpaduan antara Islam dengan tidak menghilangkan budaya Indonesia. Kehadiran Islam di Indonesia tidak semena-mena menghilangkan tradisi lokal, namun Islam memperkuat tradisi lokal dengan mengislamisasi (Ubaid & Bakir, 2015).
Islam Nusantara bersifat tengah dan tidak ekstrem kiri maupun kanan. Sifat kemoderatannya tersebut melahirkan ciri khas Islam Nusantara, yakni toleransi. Terbukti dalam usaha kemerdekaan yang dilakukan oleh pendiri bangsa serta para ulama dapat mendirikan negara yang berasas Pancasila (Ubaid & Bakir, 2015).
Bayangkan, jika hari ini paham Islam radikal yang menjadi arus utama dalam dunia keberislaman di Nusantara, akan terjadi kekacauan akan ada di mana-mana, pengeboman menjadi berita utama setiap hari, kawan kita yang berbeda keyakinan dengan kita akan menjadi target utama kaum radikal, dan kengerian-kengerian lainnya.
Konsep Islam Nusantara dicetuskan oleh NU dengan merujuk pada Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama Walisongo. Dakwah Walisongo tidak menafikan budaya lokal dan tidak menghilangkan esensi agama Islam. Lalu, konsep Islam Nusantara ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh NU yang mengajarkan pemahaman Islam yang penuh dengan sifat moderat, toleran, proporsional, dan adil. Sehingga wajah Islam begitu cemerlang di hadapan umat lainnya. Keberlangsungan kehidupan yang harmonis terus dijaga dan dirawat.
Maka dari itu, penting menangkal paham radikalisme (Islam Radikal) di Indonesia. Tentu perlu usaha yang lebih dan kerja sama yang begitu kuat antara organisasi, masyarakat, dan pemerintah (negara).
Referensi
Abdullah Ubaid dan Mohammad bakir (ed.), Nasionalisme dan Islam Nusantara, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2015), hlm. 247
Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil,(Jakarta: Sinar Harapan, 1985), h. 38
Yusuf Qardhawi, Islam Ekstrem Analisis dan Pemecahannya, (Bandung: Mizan, 1989), hlm.16.