Isra Mikraj sudah digemakan di mana-mana. Peristiwa Rasulullah yang berlangsung pada 621 M itu, menuntun manusia melihat makna di baliknya. Peristiwa monumental dengan hanya terjadi semalam saja, membuat umat Muslim takjub. Dan karena itulah hingga kini Isra Mikraj selalu diperingati.
Dalam literature Islam, pada Isra Mikraj, Rasulullah manaiki transportasi super cepat di dunia: Buroq. Ia melintas dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsha, Palestina. Mikraj Nabi banyak para ulama mengartikan sebagai “rekreasi” di kala Rasulullah sedih, karena ditinggal oleh banyak kerabat terdekat. Dengan Mikrajnya Nabi, dipercaya bisa membangkitkan diri dari kesedihan-kesedihan yang menimpa. Walhasil, Nabi bangkit dan ia banyak menemukan pelajaran penting dari peristiwa takjub yang terjadi waktu mikraj itu.
Tak berhenti di situ, para pengikut Rasulullah juga bangkit dari keterpurukan. Mereka di/dari Mekkah dengan sesegara mungkin mengemas diri untuk berhijrah ke Madinah. Dengan kemauan dan tekad yang membara serta membaja, mereka menginginkan kehidupannya lepas dari ketertindasan yang merenggut jalan hidupnya.
Sebuah Refleksi
Dinamika masa itu hampir sama dengan kehidupan kita hari ini. Kita berharap segala kesedihan, keterpurukan, ketertindasan, dan masalah-masalah yang mengitari kita lekas punah dan beralih pada kesempurnaan hidup. Keterasingan pada fakta yang membahagian adalah makanan hari-hari. Kita terbiasa melihat gemerlap lampu, busana, mobil, rumah, dan kemewahan-kemewahan lainnya yang dipakai oleh orang atau pejabat tinggi. Tetapi dalam kehidupan kita, itu hanyalah fakta yang asing.
Ironisnya, kita kembali tidak mengenali asal kita: manusia. Di era masyarakat modern yang menganut paham permisivisme, ultraliberal, dan semacamnya, kita kehilangan kemanusiaan. Saling tusuk, saling hantam, saling tikam dan saling jarah sudah menjadi fenomena harian. Dan itu yang kini malah dijunjung dan dipertebal. Apalagi, diperburuk oleh Generasi Sandwich dan politisi yang tidak mau berpikir bagaimana mengakhiri, paling tidak memperkecil, tetapi malah menambah persoalan menjadi guram.
Kehidupan-kehidupan normatif kini makin membuncah. Sayangnya itu juga berimplikasi negatif pada perilaku kehidupan kita sekarang, bahkan nantinya terhadap generasi selanjutnya. Sebenarnya, kalau dilihat azbab an-nuzulnya, fenomena itu juga pernah terjadi kepada masyarakat pra-Islam, sebelum Nabi Muhammad SAW diperintah menjalankan misi profetiknya sebagai nabiyullah. Di mana, masyarakat masa itu tidak mengenali batas-betas menjadi manusia seutuhnya.