Setelah tertunda sekitar setahun karena pandemi Covid-19, Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akhirnya akan digelar pada 24-25 Desember 2021 di Lampung. Keputusan menggelar Muktamar itu diambil dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Jakarta pada 25-26 September 2021.
Tentu, teknis pelaksanaannya kali ini akan berbeda dengan Muktamar tahun-tahun sebelumnya karena diadakan masih dalam situasi pandemi. Karena itu, tentu, NU, khususnya penyelenggara, memiliki tanggung jawab sangat besar karena harus menjamin Muktamar berjalan lancar dan di saat bersamaan pelaksanaannya wajib mematuhi protokol kesehatan. Bagi Nahdliyin, Muktamar kali ini akan menjadi tantangan tersendiri.
Selain itu, terutama dari perspektif politik, Muktamar kali ini memiliki nilai sangat strategis tak hanya bagi warga NU, tapi juga bagi berbagai kelompok kepentingan di negeri ini. Musababnya, Muktamar ke-34 ini dilaksanakan menjelang penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. NU memang bukan partai politik, tapi sebagai jamiyah ia memiliki kekuatan dan pengaruh politik yang sangat besar, yang dipastikan akan turut menentukan hasil Pemilu 2024. Karena itu, apa yang akan diputuskan oleh Muktamar dan siapa yang akan memimpin jamiyah ini ke depan dianggap akan ikut mewarnai proses dan hasil Pemilu 2024.
Muktamar Rasa Pilpres
Itulah kenapa sejak dini ada yang berseloroh, menyebut Muktamar NU kali ini sebagai “Muktamar Rasa Pilpres”. Selorohan itu wajar belaka. Sebab, Muktamar NU kali ini bisa menjadi “potret kecil” pertarungan Pemilu 2024, terutama untuk pemilihan presiden (pilpres). Banyak orang dari banyak partai politik, setidaknya orang-orang yang menjadi dan sebagai representasi partai politik, akan ikut bermain dan bertarung di arena Muktamar ini. Mereka akan berebut dan menanamkan pengaruhnya hingga bisa menempatkan orang-orangnya dalam kepengurusan NU pada periode berikutnya. Dan mereka adalah orang-orang atau representasi dari partai politik yang akan bertarung memperebutkan suara dalam Pemilu 2024 atau memenangi Pilpres 2024.
Semua partai politik, terutama yang beririsan langsung dengan Nahdliyin dan NU, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan intensi tinggi akan ikut bermain di arena Muktamar. Juga tak ketinggalan dengan partai-partai politik lain seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasdem, dan Partai Demokrat. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PK) pun, yang secara garis ideologi-politik berseberangan dengan NU, juga didorong-dorong masuk ke gelanggang Muktamar. Hingga, seorang aktivis-pegiat media sosial Faizal Assegaf melontarkan pernyataan yang terasa “menggelikan”: jika PBNU mau lepas dari watak kerdil, idealnya harus dipimpin oleh tokoh PKS seperti Hidayat Nur Wahid!