Jamal dan Sepikul Aksara

47 views

Lelaki itu terus termenung dengan tatapan yang seolah tidak memiliki pandangan pasti. Bayangan surya purna tugasnya di ufuk Barat. Tampak jelas gurat kesedihan bersama dagangan yang masih banyak di pundaknya. Ramai jalanan lintas provinsi seolah tak mampu menembus keheningan dalam diamnya.

Mas Jamal! Tolong camilan dan jus jambunya tiga,” terdengar sebuah suara, ketika lelaki itu hendak memasuki gang kontrakan.

Advertisements

Mendapati pesanan itu, raut bahagia tampak jelas menghiasi dirinya. Tangkas, diturunkannya dagangan di pundaknya, lantas segera membungkus pesanan orang tersebut. Saat hendak memberikan pesanan si pembeli, lelaki itu tampak kebingungan. Dipanggilnya orang yang memesan, namun tidak ada sahutan. Hanya bising kendaraan, suara orang yang mengaji di masjid, dan gemericik aliran sungai di samping kirinya. Hingga, dirinya dikagetkan raungan mesin RX-King yang mengepulkan asap tebal.

“Ha-ha-ha…! Dasar perusak pemandangan! Sana pergi bawa semua dagangan busukmu itu!” teriak si pemesan tadi, sembari menggeber motornya di depan Jamal.

***

Langit Barat semakin redup menyempurnakan suasana senja. Suara bacaan tarhim mengudara bebas diterbangkan angin. Jamal masih berdiri di tempat yang sama, diam mematung. Waktu terasa berjalan sangat cepat. Tidak terasa, dirinya berdiri di pinggir trotoar; tempat dia dipermainkan brandalan, selama lima belas menit. Matanya yang terpejam, tampak deras dilewati air mata. Sebenarnya siapa yang merusak pemandangan? Apakah dirinya? Atau orang-orang seperti mereka yang hatinya membeku hingga mudah sekali mempermainkan hidup sesama manusia?

“Abba kok malah di sini? Kenapa menangis?” ujar sebuah suara yang menyadarkan Jamal.

“Ndak apa-apa, Saila. Kok malah ke sini? Padahal abba mau pulang, sudah tidak sabar mendengar dongeng dari Umma,” balas Jamal sembari merapikan dagangan, lantas menerima gandengan tangan anak bungsunya itu.

Lantunan azan dari pucuk-pucuk corong masjid, tempat tinggal ayah dan anak itu, menemani langkah mereka ke kontrakan. Saila tak henti-hentinya berceloteh tentang teman di sekolahnya. Ada yang baik, jahil, dan menyukai hal yang sama dengan dirinya, yaitu dongeng.

“Assalamualaikum, Abba! Semoga berkah ya rezeki hari ini,” sambut seorang perempuan, saat Jamal tiba di pintu kontrakan.

“Maafkan Abba ya Umma. Hari ini tidak banyak yang…” Belum selesai Jamal menjelaskan hasil berjualan, wanita muda di hadapannya menyela, “Semua sudah diatur oleh Allah, Abba. Kita hanya berusaha, selebihnya kita syukuri saja,” ujar wanita itu dengan senyuman di bibirnya yang tipis.

Mendapati jawaban demikian dari seseorang yang sangat Jamal cintai, rasa haru membuncah di relung terdalam hatinya. Dia sadar ketika kemarin malam hendak mengambil wudhu, tidak sengaja dia mendengar gumaman istrinya itu: “Ya Allah beras kami hanya tinggal dua gelas. Semoga Engkau memberikan yang terbaik pada hasil penjualan suamiku besok.”

***

Ruangan sederhana yang berisikan kursi kayu, rak buku, dan sebuah radio jadul di pojokan, menjadi pelepas lelah Jamal. Keringat dan bau asap kendaraan kental menyucupi tubuhnya. Dalam diamnya, Jamal kembali merenungi peristiwa beberapa tahun lalu. Masa yang sulit baginya.
Dalam ruang interogasi, Jamal tampak tak karuan. Baju robek, pelipis berdarah, bibir pecah, dan kuku yang lepas karena dipukul martil sukses membuatnya meringis. Berulang kali dia dipaksa untuk mengakui kalau dia yang membuat tulisan yang tajam mengkritik rezim. Hantaman dan setruman tidak Jamal pedulikan. Yang dia tahu jika nasib masyarakat itu adalah harga mati.

“Heh, jurnalis sialan! Terus siapa yang membuat poster dan artikel itu, hah?!” bentak seorang anggota militer. Jamal hanya terdiam. Sudah dia jelaskan berulang-ulang, bahwa bukan dirinya di balik artikel yang diterbitkan koran tersebut.

“Kau bisu, hah?! Jawab!” Yang diajak bicara hanya terdiam. Tak sedikitpun memberikan respons.
“Sialan, nantang kau! Rasakan ini!” berbarengan dengan bentakan itu; sang anggota militer memberikan setruman dan pukulan keras benda tumpul di kepala belakang Jamal. Sontak hanya kegelapan yang terjadi selanjutnya. Dalam keheningan itu, tiba-tiba Jamal merasakan usapan lembut di pundaknya.

“Sudahlah, Abba. Tidak usah dipikirkan lagi kejadian bertahun lalu itu.”

“Tapi andai malam jahanam itu tak terjadi, mungkin kini aku tidak kehilangan penglihatan seperti ini,” ratap Jamal nelangsa.

Safira hanya mampu menghela napas berat. Cukup panjang dia menemani suaminya itu bangkit dari keterpurukan. Dirinya mengenal lelaki tangguh itu di sebuah perkumpulan jurnalis yang selamat dari penculikan misterius yang dilakukan rezim militer pada tahun 1990-1996-an. Banyak rekan Jamal yang terbunuh, diculik, dan dianiaya oleh pihak yang merasa dirugikan oleh sepak terjang para wartawan. Jamal diselamatkan oleh para aktivis yang berhasil melengserkan pemerintahan diktator masa itu. Hati kecilnya ingin selalu merangkul lelaki itu. Dia tahu siksaan fisik itu cukup membekas bahkan memberikan hal nyata di fisiknya.

“Ya sudah, Abba. Sekarang lekas bersih-bersih saja. Kami tunggu di meja makan,” saran Safira, berlalu dari hadapan Jamal dan mengingatkan si kecil Saila untuk makan malam.

***

Tepat saat ayam mulai berkokok dan selesai melaksanakan salat Subuh, Jamal tampak tergesa dengan kertas di tangannya. Lembut dia berpamitan pada sang istri, “Doakan ya surgaku. Semoga hari ini dilancarkan.”

“Aamiiin, Abba! Berkah selalu langkahmu.”

Raut wajah Safira tampak bingung dengan sikap suaminya pagi ini. Pasalnya beberapa waktu lalu dia meminta untuk diajarkan mengetik di mesin tik dan menghapal keyboardnya. Berbarengan dengan hal itu, malam-malam sebelumnya, di ruang baca, sebelum tidur dia selalu mendengar suara jarum mesin tik beradu dengan kertas. Namun, paginya dia tidak menemui adanya bekas aktivitas menggunakan mesin tik.

“Berangkat dahulu ya Umma.”

“Nggeh Abba, hati-hati.”

Setelah berpamitan, Jamal bergegas dengan dagangan di pundaknya. Beberapa kertas misterius tampak menyembul dari sela dagangan. Jalanan pagi yang sejuk, menemani keyakinan yang terpancar dari wajah Jamal.

“Camilan, camilan, camilan!” teriak Jamal sambil menyusuri trotoar kota. Saat menemukan kotak pos, segera dimasukkannya kertas yang dipegangnya dan tak lupa meninggalkan uang di dalamnya.

Suasana sore hari ini, tampak cerah. Semburat jingga indah bertabur di langit Barat. Jamal merasa hari ini, orang yang di temuinya, seakan merasakan suasana indah yang ada di langit. Pancaran bahagia tampak di wajah Jamal. Di sela langkah kakinya, dia bersenandung menikmati suasana menuju kontrakan.

“Alhamdulillah, ya Allah! Habis daganganku,” gumam Jamal di sela ayunan tongkat yang menuntunnya. Belum jauh meninggalkan tempat di mana dirinya pernah dipermainkan oleh para preman, suara anak kecil menyapanya.

“Pak, tolong ikhlasnya! Saya belum makan seharian,” rintih anak tersebut.

“Loh kok bisa belum makan, nak?”

“Iya pak. Hasil koran hari ini di rampas preman,” jawab anak itu, dengan suara bergetar.

Mengetahui hal itu, ingatan Jamal terlempar pada putri kecilnya. Dilihat dari suaranya, anak laki-laki itu sepertinya seumuran dengan anaknya. Pelan dia turunkan boks dagangan. Sigap, diambilnya isi dalam kotak boks dan mengeluarkan nasi bungkus dari dalamnya. Setelah itu, dia juga memberikan beberapa lembar uang pada anak kecil tersebut.

“Terima kasih, bapak! Semoga rezeki bapak melimpah,” seru anak itu. Diciumnya tangan Jamal, lantas pamit pulang.

***

Di kontrakan, tampak Safira akan keluar dari rumah. Tiba-tiba seseorang berseragam pegawai pos berhenti di depan rumah kecil keluarganya dan menghampirinya. Heran, ditunggunya petugas itu menyenderkan sepedanya. Saat tiba di hadapannya, orang tersebut bertanya apakah benar ini alamat pak Jamal? Setelah memastikan dan percaya kalau dia adalah istrinya, petugas tersebut mengulurkan sebuah amplop yang lumayan tebal.

“Terima kasih, Pak!” seru Safira melepas kepergian petugas pos.

Setelah selesai menyiapkan makan malam, Safira menunggu Jamal di depan pintu. Dia merasa tak tenang dengan kiriman yang ditujukan untuk suaminya itu. Saila juga tampak setia mendampingi ibunya dengan krayon dan kertas gambar di pangkuannya. Hingga dari kelokan gang dia melihat suaminya berjalan pelan menuju tempatnya.

“Assalamualaikum!”

“Waalaikumussallam, Abba! Semoga berkah rezeki hari ini,” jawab Safira sembari mencium tangan lelaki di hadapannya.

“Tumben, Umma menunggu di depan pintu. Ada apa?”

“Ini, Abba, ada kiriman untukmu. Tadi bapak pos yang mengantarkan,” ujar Safira sembari mengeluarkan amplop cokelat dari laci meja dan menyerahkan kepada suaminya.

“Ohh ya! Tolong bisa dibacakan apa isinya?”

Ketika mencermati lagi secara detail, Safira kebingungan kenapa ada kop dari koran daerah. Pikirnya mungkin suaminya berlangganan koran atau sejenisnya. Hingga tepat kertas tersebut dibuka, berlembar uang merah sudah rapi di dalamnya. Mendapati hal itu, Safira tampak tertegun dan sama sekali tak bersuara. Hingga jari-jari lentiknya mengambil sebuah kertas kecil di dalamnya.

Selamat Nur Jamal! Kami sudah lama menunggu tulisan segarmu. Artikel, opini, dan cerpen tentang kisah nyatamu sangat digemari para pelanggan setia kami. Sebagian dari mereka menitipkan hadiah untukmu. Karena berkat tulisanmu, mereka banyak yang bangkit dari keterpurukan. Kami tunggu tulisanmu selanjutnya! Ini kami kirimkan hadiah dari penggemarmu. Ada uang sejumlah lima juta rupiah. Besar harapan kami, Anda sudi untuk datang ke kantor, guna mengambil honorarium dari setiap artikelmu yang sudah menumpuk sekitar empat juta rupiah.

Selesai membaca tulisan kecil itu, Safira tak mampu membendung bulir bening matanya. Suaminya sudah berdamai dengan kondisinya, harapan yang selalu dia langitkan pada Sang Pencipta.

“Looh, kenapa umma menangis? Jamal heran saat mendengar istrinya terisak. Lembut, dipeluknya Safira, sembari mengusap pucuk kepalanya.

Sleman, 10 Februari 2023.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan