Ia terkenal sebagai pembuat katapel sakti sejak katapel buatannya berhasil melayangkan nyawa banyak tentara Jepang. Saat itu usianya masih enam tahun. Sejak saat itu, katapel-katapel yang dibuatnya kerap diperbincangkan dan jadi pesanan banyak orang sebagai senjata pelindung paling ampuh. Keampuhan katapel buatannya itu terus berlanjut hingga kini dan mampu menghuni rumah banyak orang; ditaruh bersanding dengan gadget dan benda milenial lainnya.
Kini, meski usinya sudah sepuh dan tubuhnya demikian ringkih dan kedua matanya sudah mulai rabun, tak mengurangi kepekaannya dalam mengamati ranting bercabang dua yang cocok dibuat katapel. Cukup hanya dengan menyentuhkan jari telunjuk dan jari jempolnya dengan gerakan sedikit meremas, ia akan tahu mana ranting paling tepat untuk mengarahkan bidikan ke arah sasaran secara akurat.
Walau harus bertatih dengan tongkat, ia tekun mendatangi lereng bukit Montorra setiap dua kali seminggu untuk memilih ranting bercabang dari aneka pohon yang tumbuh. Jika ada cabang yang posisinya kurang bagus tetapi tetap berpangkal di bagian tengah, ia akan mengikat cabang itu dengan tali sehingga arah bengkoknya sejajar sesuai dengan yang dikehendaki.
Mulai anak-anak sampai orang dewasa banyak yang membeli katapel buatannya. Alasan sederhananya, karena katapel yang dihasilkan tangan keriputnya itu memang selalu akurat mengenai sasaran.
“Sejak menggunakan katapel buatan Ki Badrun, tupai-tupai yang biasa menyantap buah kelapaku banyak yang jatuh nelangsa tak bernyawa,” ungkap seorang lelaki kepada temannya di tepi sepetak kebun.
“Ya, burung-burung di sawahku juga lenyap setelah aku menggunakan katapel buatan Ki Badrun untuk membuatnya terkapar.”
“Tak sia-sia membelinya dengan harga seratus ribu.”
“Betul, bahkan andai lebih dari seratus ribu, aku tetap mau.”
Sejak zaman penjajahan hingga kini, setiap hari katapel buatannya selalu banyak yang memesan. Itu membuat dirinya tergolong jadi orang kaya. Dan tentu saja membikin bibir hitamnya selalu tersenyum. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang membuatnya risau ketika mengingat-ingat pekerjaannya sebagai pembuat katapel, yaitu ketika ingat almarhum Ki Munawir atau ketika melihat seekor kucing berbulu putih.